Maya : Adakah sesuatu hukum kehidupan yang bisa aku pegang? Aku pedomani? Aku percayai?
Damar : Aku tidak tahu. Semua berpulang pada dirimu.
Maya : Aku masih belum sepenuhnya melihat adanya keteraturan, pun aku juga belum sepenuhnya melihat ketidak teraturan, yang aku lihat, hanyalah suatu kebetulan-kebetulan yang tidak bisa aku pahami, bagaimana bisa terjadi demikian dan mengapa bisa terjadi demikian.
Damar : Sama, aku juga demikian.
Maya : Dan semakin aku lihat, semakin aku tidak memahami, mengapa ‘kebetulan-kebetulan’ itu seolah tidak tepat datangnya, tidak sesuai kehadirannya.
Damar : Begitulah…
maya : Aku cuma bisa meraba-raba..
Damar : Aku juga…
Maya : Beri aku pegangan…, temanku, kekasihku…
Damar : Cuma kamu yang bisa memberi, untuk dirimu sendiri…
Maya : Beri aku pemicu, darimu, dari apa yang kamu pedomani, dari segala pengalaman-pengalamanmu, supaya aku bisa bercermin…
Damar : Yup, memang hanya itu yang aku bisa. Selebihnya terserah padamu, apakah ‘kesadaran’mu bisa melihat sama atau setidaknya mirip-mirip dengan apa yang ‘kesadaran’ku lihat. Maka, bukalah segala kaca matamu yang kamu pakai sekarang. Lihat apa adanya, lihat apa yang bisa kamu lihat, selanjutnya……terserah..
Damar :
Ada sepasang suami istri, hidupnya kurang sejahtera, ibarat lembu, mereka kelebihan beban. Pedati yang mereka tarik, terlampu banyak berisikan muatan. Namun apa mau dikata, kehidupan tidak memberi banyak pilihan, banyak keterbatasan. Kedua-duanya bukan orang terpelajar, tidak bisa mendapatkan pekerjan yang layak. Namun sekali lagi, apa mau dikata, Tuhan tidak memberikan banyak pilihan, Tuhan banyak memberikan keterbatasan. Dan keterbatasan yang paling fatal bagi mereka adalah, kurangnya kecerdasan. Mungkin hanya momongan yang bisa menghibur, sedikit menghibur segala kesesakan mereka, begitu kecerdasan mereka yang terbatas berkata. Dan, Tuhan rupanya tahu akan hal itu, sang istri mengandung, betapa bahagianya mereka. Demi mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan, mereka mengadakan selamatan, mengundang tetangga kanan dan kiri, walaupun segalanya harus dibeayai dengan uang hasil berhutang. Sama-sama mereka menghaturkan rasa terima kasih kepada Tuhan, para tetangga terenyuh, dengan tulus mereka ikut berdoa syukur. Dan kelahiran sang momongan-pun tiba.
Tapi, apa mau dikata, ternyata….sang bayi lahir tidak wajar, dengan kepala yang besar. Menurut dokter, bayi itu terkena Hydrocepallus, butuh beaya besar untuk membuatnya sembuh…betapa ironisnya. Banyak pemuka agama yang menasehati, agar mereka bersabar, itu adalah UJIAN, hendaknya berserah diri, menerima dengan lapang dada kehendak Tuhan, karena pasti ada hikmah dibalik semua itu. Kalaupun tidak ada, pasti kelak, dialam ‘sana’, mereka akan mendapat ganti rugi atas segala kepahitan yang mereka alami. Kelak…tidak tahu kapan…
Dibelakang mereka, banyak juga tetangga yang kasak-kusuk, bahwa kehadiran momongan yang cacat tersebut adalah AZAB Tuhan kepada orang tuanya. Sepasang suami istri itu cuma bisa diam….Mau apa lagi ? Walau dalam hati kecil, mereka merasa Tuhan telah mempermainkan. Lengkap sudah UJIAN ini. Ah…
Saat aku mendengarnya, aku cuma bias berucap :
Kalau Tuhan memang hendak menguji atau mengazab, seyogyanya jangan menimpakan penderitaan ujian atau azab itu pada bayi yang masih polos itu. Beri saja Hydrocepallus atau penyakit yang lain pada salah satu orang tuanya. Kasihan, kalau kelahiran seorang bayi hanya sekedar untuk bahan ujian atau azab bagi orang tuanya. Demi sekedar tujuan itu, sang bayi harus kesakitan semenjak kelahiran pertamanya. Adilkan? Naif, sangat naïf lah DIA yang membuat ujian atau azab tersebut.
Maya : Kebetulan yang tidak tepat…
Damar : Sebaliknya, ada sepasang suami istri yang mapan, berharap seorang momongan. Tuhan mengabulkan, bersyukurlah mereka. Menjelang kelahiran, sang bayi bercacat, sama, terkena Hydrocepallus. Tapi karena mereka berada, penyakit sang bayi bisa ditangani….Tuhan Maha Adil bagi mereka. Tuhan telah menguji mereka dan mereka telah lulus dari ujian-Nya.
Maya : Kebetulan yang tepat..
Damar : Banyak contoh kasus lain, selain hanya masalah lahir melahirkan. Ada seseorang yang lahir cantik. Tapi kurang kecerdasannya. Karena penampilan fisiknya, ia gampang memperoleh pekerjaan layak. Ini anugerah, katanya. Tapi namanya kurang cerdas, pekerjaannya amburadul. Ujung-ujungnya ia hanya menjadi ‘penghibur’ sang boss. Dari sanalah ia mendapatkan penghasilan, bisa menghidupi keluarganya. Dirumah, ayah dan ibunya seringkali memanjatkan doa syukur, karena anaknya telah memperoleh pekerjaan mapan. Dalam kondisi keluarga yang kekurangan, dengan banyak anak yang masih butuh beaya pendidikan, ditambah kondisi ayahnya yang sakit-sakitan, keadaan itu benar-benar sebuah anugerah dari Tuhan. Padahal disana, sang anak tengah melakoni peran yang bisa membuat kedua orang tuanya jantungan.
Ada yang berkilah melihat kasus ini. Ah, itu karena si cantik tidak kuat godaan? Padahal si cantik bukan tipe gampang tergoda. Darimana mereka tahu? Si cantik melakukannya karena memang tidak ada pilihan lain. Hanya itu yang ada didepannya. Dan hanya itu yang bisa membantu keluarganya. Ada yang cuma berkomentar. Kecantikan adalah anugerah, tapi bisa menjadi petaka bagi yang tidak bisa menjaganya. Ah, gampang memang mulut ngomong. Si cantik dalam dilema, Ah seandainya aku cantik sekaligus cerdas, ga bakalan aku terjerat kehidupan seperti ini. Seandainya tidak cerdas-pun, tapi keluarganya tidak semenderita seperti itu, ga bakalan juga aku terjerat kehidupan seperti ini. Si cantik mengeluh. Dan para pembela Tuhan-pun tetap menghakimi, Dasar kamu aja yang tidak kuat iman!
Maya : Kebetulan yang kacau…
Damar : Sedangkan dilain tempat, ada yang dilahirkan cerdas, tapi tidak beruntung, karena fisiknya pas-pasan dan berpenyakit asthma akut. Lahir dari keluarga tidak mampu pula. Kecerdasan mereka sia-sia. Tak berguna. Tak ada yang mau memanfaatkan ‘kecerdasan’ nya karena sebab penyakitnya. Mutiara yang lahir ini seolah lahir sia-sia, tak berguna. Si cerdas berdoa : Ah, Tuhan, mengapa Kau berikan aku kecerdasan bila tak berguna, sia-sia, tidak bias dimanfaatkan. Lebih baik, jangan beri aku kecerdasan dong Tuhan, biar aku tidak sekecewa ini. Lantas, apa tujuan-Mu?
Dan, kecerdasannya pun sia-sia, hingga akhir hayatnya. Ujian. Kata orang. Kesia-siaan yang akan berbalas kelak dialam ‘sana’, sebagian lagi berkata. Ada yang menghakimi lebih ekstrim, Itu adalah Azab. Dan ada pula yang sekedar berceloteh : Itu memang NASIB-nya. Ah, ya sudah.
Maya : Wah…kacau..
Damar : Bahkan ada yang lebih ekstrim. Ada seseorang yang lahir dikeluarga kaya raya. Semenjak kecil terbiasa dengan kemewahan dan kemanjaan. Segala kebutuhannya tercukupi. Apa-apa tinggal main suruh pembantu. Sejak Play Group, sekolahannya sekolah yang bonafide. Kuliah-pun diluar negeri. Lepas ,kuliah, pekerjaan sudah siap, tinggal meneruskan bisnis keluarga. Sampai tua ia sejahtera. Padahal kerjanya cuma nyantai-nyantai aja. Tapi keberuntungan seolah tak mau berhenti menghampiri. Kata orang itu adalah Hoki. Tuhan sayang sama dia. Walaupun dengan segala kekayaannya, dia bisa berbuat semau gue, bisa meniduri segala macam jenis wanita yang ia mau, dan punya banyak istri simpanan. Walaupun begitu, kehormatan dan keberuntungan, tetap saja menghampirinya. Ada yang iri kasak-kusuk : Lihat saja ntar kalau mati, pasti masuk neraka. Keadaannya sekarang cuma sekedar dimanja sementara oleh Tuhan. Ada yang agak halus, walau terkandung kedengkian : Ah, kasihan, dia ga kuat godaan harta. Kalau aku pasti ga bakalan seperti itu, kasihan, neraka akan menjadi balasan orang seperti itu. Yang pada ngiri doanya jelek semua.
Maya : Hehehehehee….
Damar : Sedangkan kebalikan diatas, ada seseorang yang lahir dari keluarga miskin. Semenjak kecil terbiasa dengan kekurangan, makanya ia rajin karena tuntutan keadaan. Bila ga rajin, mau makan apa? Sekolahpun sekolahan kelas bawah, lulus SMU sudah cukup bagus, tidak bisa kuliah karena keterbatasan. Dia sangat rajin, tekun, tidak suka bermalas-malasan. Toh, keberuntungan juga selalu menjauh. Apapun yang ia harapkan lepas. Apapun yang ia rencanakan matang-matang berantakan. Lelah juga akhirnya dia. Sudah sering semenjak dia muda mendapat ceramah, jangan patah semangat, jangan menyerah, kamu pasti berhasil, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar. Toh ketika kehidupannya tetap begitu-begitu juga, ia pun muak mendengarnya lagi. Dia mencari pegangan, bertanya kesana dan kesini, jawabannya klise, Ujian, harus sabar. Dia protes, kurang sabar bagaimana lagi aku? Ada yang keras memberi jawaban : Itu semua peringatan atas segala dosa-dosamu yang kamu lakukan walaupun orang pada ga tau, makanya perbaiki diri. Sok tahu, gerutu si rajin. Kalau memang itu hukuman, kok kayaknya ga sepadan dengan dosa yang ia lakukan? Disana, ada yang lebih hebat mengumbar maksiat, hidupnya enjoy enjoy aja.
Hati kecilnya berbisik : Kalau memang aku telah berbuat dosa besar, kapan kulakukan ? Sebab penderitaan semacam ini sudah aku alami sejak aku ‘mbrojol’ dari vagina ibu. Lalu kapan aku melakukan dosa itu? Apakah dosa turunan? Karena leluhurku memelihara tuyul? Seharusnya kalau penderitaanku akibat dosa-dosaku, harus ada rentang waktu dong dari detik aku ‘mbrojol’ sampai batas aku mengenal apa itu nikmatnya dosa, lalu aku berbuat dosa sesukaku, lalu hukuman turun. Itu baru masuk akal. Tapi setahuku, sejak aku ‘mbrojol’ aku sudah jadi terhukum, sampai sekarang. Wah Tuhan, gimana sih kamu ini?
Ada yang menasehati, jika kamu sabar, balasannya kelak dialam ‘sono’. Waduh, kapan itu? Nunggu kiamat. Weleh-weleh, ya kalau ada, kalau ga ada alam ;sono’, lantas BAGAIMANA NASIB HAMBA?
Yang kemudian aku dengar, orang ini menjadi Atheis sampai sekarang.
Maya : Hahahahaha….Lucu juga ya ke-naif-an dunia ini. Dari semua ke-naif-an diatas, apa yang dapat kita lihat dan simpulkan, kekacauan? Ketidak teraturan?
Damar : KETIDAK TERATURAN YANG TERATUR…Sesungguhnya itulah yang terjadi.
Maya : Wah! Kok bisa!
Damar : Ada ‘BENANG MERAH HALUS’ yang menimbulkan semua fenomena itu. Ada ‘SEBAB’ maka ada ‘AKIBAT’.
Maya : Aku tidak melihat ‘SEBAB’ . Aku hanya melihat ‘AKIBAT’. Yang bener aja, dong!
Damar : (Diam)
Maya ; ( Bingung)
Damar : Semua kasus diatas, harus ada suatu ‘SEBAB’ yang menimbulkan mengapa hal itu ber-‘AKIBAT’ demikian. Harus ada SEBAB suami istri miskin atau kaya bisa hidup dalam kemiskinannya dan kekayaannya. Harus ada SEBABSEBAB mengapa si cantik berparas cantik namun bodoh dan lahir dikeluarga penuh beban seperti diatas. Harus ada SEBAB mengapa si anak orang kaya bisa terus menerus hoki sedangkan si rajin terus menerus sial. Semua harus ada SEBAB. Tanpa ada SEBAB, berarti dunia ini KACAU BALAU! mengapa anak mereka lahir cacat dan yang satu bisa disembuhkan dan yang satu tidak. Harus ada
Maya : Mereka menuai ‘AKIBAT’ dari apa yang mereka lakukan begitu ?
Damar : Seharusnya demikian dan memang harus demikian.
Maya : Wah, kalau begitu benar dong protes si rajin yang menggerutu seharusnya kalau semua penderitan, semua kesialan dia adalah tuaian dari sebuah ‘SEBAB’ sebelumnya, harus ada rentang waktu yang cukup untuk menanam ‘BIBIT PENYEBAB’itu. Padahal banyak contoh kasus, mereka memang sudah lahir seperti itu. Lantas, rentang waktu mereka menanam ‘BIBIT PENYEBAB’ kapan, dong? Ah…
Damar : Berarti harus ada rentang waktu lain dimana seharusnya mereka punya kesempatan menanam ‘BIBIT PENYEBAB’ itu.
Maya : KELAHIRAN SEBELUMNYA maksudnya?
Damar : Seharusnya begitu dan memang harus begitu.
Maya : Kalau memang demikian, si kambing hitam dari rangkaian AKIBAT KITA SENDIRI? Jadi KITA SENDIRI YANG MERANGKAI NASIB UNTUK DIRI KITA SENDIRI. Wah… seperti diatas adalah
Damar : Begitulah seharusnya dan memang harus begitu.
Maya : Kalau memang seperti itu, harus ada ‘SESUATU’ dong yang menjadi ‘SAKSI’ sekaligus ‘MEREKAM’ segala apa yang kita tanam.
Damar : Alam. Sejatinya, apa yang kita PIKIRKAN, apa yang kita UCAPKAN dan apa yang kita PERBUAT dengan badan kita, alam yang menjadi ‘Saksi’ sekaligus ‘Merekam’-nya..
Maya : Dan juga ‘MENUMBUHKANNYA’…..
Damar : Yup…Kita ambil contoh kasus pertama. Ada rentang waktu bagi sepasang suami istri miskin tersebut menanam suatu ‘SEBAB’ yang tidak baik dan kelak akan berbuat ‘AKIBAT’ yang tidak baik pula. Atma atau Ruh, aku menggunakan istilah Ruh karena istilah itu lebih lekat ditelinga kamu, yang memiliki frekwensi yang sama diakibatkan segala aktifitasnya sebelum kematiannya, akan saling tarik menarik. Apa yang ditanam Ruh calon suami miskin dan Ruh calon istri yang miskin tadi, hampir mirip-mirip. Sehingga frekwensi mereka sama. Jadilah mereka terikat dan tertarik secara alamiah. Begitu lahir, mereka akan berjodoh, dan menjadi sepasang suami istri. Tujuannya untuk menuai AKIBAT dari perbuatannya buruknya masa lalu yang mirip-mirip tadi. Ada lagi Ruh lain, yang juga memiliki frekwensi yang sama, tertarik dalam kandungan sang istri. Lahirlah menjadi bayi yang bercacat tadi. Kecacatannya adalah AKIBAT dari perbuatan si bayi sendiri pada kehidupannya yang lalu. Tidak ada hunungannya sama sekali dengan kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya pada kelahiran sekarang hanya sekedar ‘TEMPAT YANG SESUAI’ untuk dia lahir kembali kedunia. Cuman itu saja.
Jangan mencari kambing hitam atas semua penderitaan yang mereka alami. Salahkan mereka sendiri. Karena apapun SEBAB yang mereka tanam dulu, maka harus tumbuh menjadi AKIBAT yang harus mereka nikmati sendiri. Bukan oleh orang lain.
Maya : So, apa tujuan kehidupan ini? Apa hanya sekedar lahir mati lahir mati hanya untuk membuat SEBAB dan menikmati AKIBAT doang? Wah, kok lucu banget kalau cuma kayak gitu. Terus peran Tuhan dimana, dong? Kalau Tuhan memang ada, sih.
Damar : Sudah malam. Besok dilanjutkan. Yang jelas kamu sekarang tahu tentang HUKUM SEBAB AKIBAT DAN KELAHIRAN KEMBALI.
Maya : Wah, nggantung!
Damar : Renungkan sendiri. Kamu akan semakin melihat BENANG MERAH KETIDAK TERATURAN TAPI TERATUR ini.
Maya : Masih banyak yang belum jelas dan ingin aku tanyakan.
Damar : Jawab sendiri. Aku cuma sekedar pemicu. Selanjutnya……terserah…
Maya : Gitu, deh…
Damar : Malam…
Maya : Malam juga….Tapi, nggantung, nih…..
Damar ; ( Tidur).
(26 September 2009, by : Damar Shashangka)