Sabtu, 15 Maret 2008

sikap principle centered

BERSIKAP ‘PRINCIPLE CENTERED’
Seri Artikel Kebiasaan Positif Orang Kaya



“Sampeyan sebagai pemimpin harus mampu bersikap Principle Centered…” begitu kata

salah seorang teman kepada saya suatu ketika. Berkata dengan begitu bersemangat.
Hmm,

principle centered? Apa itu? ”Berpusat kepada prinsip”!? Sesuatu yang membuat
saya harus

tercenung pagi itu. Terlepas dari teman saya ini tahu betul akan maksud
’Principle Centered’

seperti maunya Stephen Covey, bagaimana pun, teman saya ini telah memberikan
nasihat yang

begitu berharga.

Apa itu prinsip? Adakah ’pusat-pusat’ lain selain prinsip? Sebuah pertanyaan
yang tidak mudah

untuk dijawab. Terus terang, ketika saya membaca bukunya Covey, adalah bagian
’Principle

Centered’ inilah yang sepertinya paling lama membuat saya merenung. Baca seluruh
bab,

berhenti, malam hari merenung, besok hari baca lagi bab ini, merenung lagi,
besoknya baca

lagi.

Saya punya seorang teman, hidup di Jakarta, dan bagi saya cukup menarik untuk
sedikit diintip

bagaimana dia menyikapi hidup ini. Teman ini secara ekonomi sudah sangat mapan.
Mobil

bagus, rumah mewah, usia kepala tiga, masih bisa dibilang muda, karir menanjak
pesat.

Seorang pria yang masih sendiri, bekerja berangkat pagi hari, dan pulang ke
rumah ketika

malam telah larut, karena toh tak ada siapa-siapa di rumahnya. Kadang mampir
melewati

hingar bingar dunia gemerlap kehidupan malam untuk sekedar melepas stress ketika
kerja. Dan

itu sudah dilakoninya selama lebih dari sepuluh tahun. Tampaknya bahagia. Dia
orang yang

kaya secara materi, saya yakin itu. Tapi benarkah dia bahagia?

Baru-baru ini, saya berkesempatan ngobrol dengan dia. Sementara ini saya
menyimpulkan dia

sebagai seorang yang ’Money Centered’. Bagaimana bisa? Dan apa pula money
centered itu.

Untungnya dalam memahaminya, pendekatan yang dipakai Covey agak mudah dipahami
dalam

saya mencoba menempatkan stempel money centered ini pada dia.

Dalam mengenalinya, pertama saya lihat pada ’rasa aman’ (security) baginya.
Seorang money

centered, ’rasa aman’-nya sangat ditentukan oleh berapa –atau seberapa banyak-
materi yang

saat ini dia miliki dan akan diperolehnya. Sungguh teman saya ini begitu
kalutnya ketika

mendapati –misalnya- dia hanya membawa sepuluh ribu dikantongnya. Dan dompetnya
itu –yang

berisi kartu kredit dan sebagainya- ketinggalan di rumah.

Yang kedua adalah ’arah keputusan’ (guidance) yang selalu diambilnya adalah
selalu dalam

rangka untuk memperbanyak materi yang dia miliki. Ada orang datang kepadanya dan

mengajak dia bekerjasama melakukan sesuatu. Pertama kali yang ditanyakannya,
adalah ’apa

untungnya buat saya?’. Kurang lebih mungkin demikian di benaknya.

Ketiga adalah ’dasar pertimbangan’ (wisdom), dimana segala hal selalu
dihubungkan dengan

kondisi keuangan, kondisi ekonomi. Bahkan menilai seseorang selalu dilihat dari
’lensa’

penglihatan akan ’seberapa mampukah’ orang lain secara materi. Mungkin dia hanya
akan

bicara serius dengan orang yang juga seimbang ’kaya materi’-nya dengan dia.
Kembali, karena

’arah keputusan’-nya membawa dia bahwa hal itu bisa jadi menguntungkan dia
secara jangka

panjang. Dan mungkin dia akan merasa terganggu bila ada orang tak berpunya
datang –yang

mungkin hanya sekedar mengajak bicara- kepadanya.

Dan keempat, .. power!! Ah, ternyata susah juga menemukan terjemahan yang
tepat. Power

diartikan sebagai kemampuan dia memimpin atau mempengaruhi orang lain, selalu

diupayakannya dengan cara memperlihatkan betapa kayanya dia. Agar orang
menghormati dia,

tak lupa kemanapun dia pergi, selalu membawa mobilnya yang memang tergolong
mewah.

Masuk toko pun, berusaha bersikap agar dia tampak kaya –walaupun memang kaya-
oleh para

penjaga toko.

Itu salah satu contoh yang disebut money centered. Ternyata centered atau
pusat-pusat lain

tidak hanya itu. Sebut saja sikap berpusat lain yang disebut sebagai ’work
centered’. Dari sisi

security, mudahnya mungkin bisa diartikan bahwa orang ini akan merasa aman bila
dia

bekerja. Orang ini akan mudah merasa resah bila suatu ketika harus menunggu di
ruang

tunggu, atau tiba-tiba tidak ada yang bisa dilakukannya. Guidance baginya selalu
ditujukan

pada kebutuhan atau ’bagaimana baiknya’ sehingga dia dapat selalu bekerja.
Sedang wisdom

baginya selalu melihat dari sudut pandang aturan main dalam pekerjaannya. Bila
dia pekerja

kantoran atau pabrik, selalu melihat aturan perusahaan sebagai seolah referensi
satu-satunya

yang tidak bisa ditawar lagi. Bila dia seorang ahli hukum, kemanapun dia berada
selalu

membawa koridor undang-undang kepada siapa pun dia berbicara. Dan apa yang
dilakukan atau

yang dikatakannya adalah sebagai upaya perwujudan eksistensinya (power), selalu
dengan

pengungkapan semacam ’saya ini pekerja keras, lho’, atau mungkin, ’dikantor saya
ini seorang

pimpinan dengan ribuan anak buah....’

Semoga tergambar apa maksud ’centered’ atau ’pusat-pusat’ itu. Anda bisa lihat
orang-orang

di sekitar anda. Atau mungkin anda coba bercermin kepada diri anda sendiri.
Dimanakah

’pusat-pusat’ itu. Dan ternyata definisi centered itu juga banyak. Yang lain,
ada yang disebut

’spouse-centered’, pasangan anda adalah pusat itu. Ada juga yang disebut
’enemy-centered’.

Musuh anda adalah pusat anda, lho, kok bisa. Bisa saja! Apa yang anda putuskan
selalu

mengambil pertimbangan ’kira-kira apa respon orang yang tidak saya sukai itu,
terhadap

keputusan saya ini?’ Dia hanya merasa aman, ketika ’orang yang tidak disukai
(yang disebut

sebagai enemy), tidak dalam jangkauannya. Atau kalau pun ada, ’musuh’-nya itu
diyakini tidak

berada dalam kemampuan untuk ’mengganggu’ rasa amannya.

Ada lagi yang disebut sebagai pleasure-centered, pusatnya adalah sebuah
kesenangan, hmm,

seperti apa itu? Anda coba imajinasikan sendiri. Ada juga self-centered, ada

possesion-centered dan mungkin juga ada banyak centered-centered yang lain. Anda
bisa

renungkan sendiri, menilai orang lain mungkin, atau berkaca pada diri sendiri.
Dan jangan

salah, tidak setiap orang selalu konsisten berada pada suatu pusat tertentu dan
selalu berada

disana setiap saat. Bisa jadi seseorang berada di possesion-centered suatu hari,
dan hari

berikutnya berada di money-centered.

Ada satu lagi yang juga menarik, dan sepertinya bisa menjadi contoh, yaitu apa
yang disebut

sebagai value-centered. Rasa aman, pertimbangan dan sebagainya selalu dirujuk
kepada

nilai-nilai yang dianutnya. Tampaknya bagus, tapi tunggu! Apakah nilai-nilai
yang dianut setiap

orang itu pasti bagus. Selalu memegang teguh nilai, adalah seseorang yang
proaktif, pun

value-centered. Tapi kemudian masih tersisa pertanyaan, bahwa mungkin saja nilai
seseorang

tidak selaras dengan nilai-nilai universal yang seharusnya dipahami oleh setiap
orang. Hitler

mungkin seorang yang value-centered. Sadam Hussein juga bisa jadi
value-centered. Mereka

selalu memegang teguh nilai-nilai yang mereka anut. Dan apapun tindakan, dasar

pertimbangan, dan keputusan mereka selalu merujuk kepada nilai-nilai yang mereka
anut.

Benar value-centered, tapi apakah anda bisa menilai terhadap apa yang
dilakukannya sebagai

sesuatu yang baik?

Nah! Saatnya kembali ke.. laptop! (dengan gaya ala Tukul Arwana). Saya membuka
istilah

dengan principle-centered. Kemudian saya coba ngalor-ngidul, sekedar untuk
mencoba

membawa anda kepada maksud utama terhadap apa yang saya ingin sampaikan.

Principle, ..adalah hukum alam. Apa itu hukum alam, tidak mudah saya
menjelaskan, karena

toh bisa juga penjelasan saya tidak seluruhnya benar. Saya hanya bisa katakan
hukum alam

adalah hukum alam. Mungkin boleh disebut nilai-nilai universal. Air selalu jatuh
ke bawah.

Kalau anda suka berbohong, cepat atau lambat orang akan tidak percaya kepada
anda. Suatu

saat, semua yang dilahirkan pasti mati. Segalanya selalu berubah, tidak ada yang
benar-benar

tetap dalam dua kurun waktu yang berbeda. Itu mungkin yang bisa coba saya
contohkan sebagai

principle, ..hukum alam!

Lalu apa hubungannya dengan kaya? Seorang yang principle-centered, mungkin tidak
akan bisa

dijamin dia akan pasti menjadi kaya materi. Demikian pula sebaliknya, seorang
yang kaya,

tidak selalu bisa memimpin dirinya sehingga ber-principle-centered. Tapi coba
anda bayangkan

suatu saat anda seorang yang kaya, tetapi kebingungan dan sangat merasa resah
ketika di

perjalanan sadar, lupa membawa dompet. Anda bayangkan, berkecukupan materi, tapi
menjadi

pikun dan seperti kehilangan pegangan ketika anda harus pensiun dari pekerjaan
anda. Atau

anda memiliki uang berlimpah, tapi selalu diperbudak oleh kesenangan anda.
Seperti inikah

kaya bagi anda? Atau logikanya kita balik, masihkah bisa anda merasa kaya
–walaupun anda

misalnya memang kaya- ketika anda berlaku dengan centered-centered seperti
contoh di atas?

Tukul Arwana, lebih dari duapuluh tahun dia berjuang pada situasi yang bagi
sebagian orang

dianggap sebagai keadaan yang memprihatinkan. Saat ini, dia mulai memetik
buahnya ketika

acara talkshow-nya melangit rating-nya. Pasti anda setuju kalau kita katakan
bahwa dia

sekarang sudah kaya. Tapi kepolosan, kesederhanaannya, selalu membawa kepada
orang yang

meminta kesannya, dengan ungkapan klasik yang selalu diucapnya, yaitu ’ojo
lali..’ (jangan

lupa). Bisa jadi itulah value centered-nya. Atau bahkan principle-centered
baginya.., agar apa

yang diperolehnya tidak membuatnya menjadi lupa....






Regards,

Syamsi Kusyanti,
Consumer Loan Group
PT. Bank Mandiri, tbk
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 36-38
Jakarta 12190