Hal patut kita contoh dan kita teladani
jangan ingin cepat kaya segala hal terabas
tidak ada yang instant ,selalu harus ada perjuangan
biar sedikit tapi barokah itu yang perlu kita terapkan dalam hidup ini
amin.
silahkan baca kisah hidup ini
Briptu Seladi
[ dari seorang teman ]
Pelajaran tentang hidup terpuji telah dilakukan Briptu Seladi, seorang
anggota polisi di Mapolresta Malang , Jatim. Selama tujuh tahun sejak
diangkat menjadi polisi pada 1978, Seladi senantiasa berangkat ke kantornya
dengan berjalan kaki. Pada 1985, barulah dia mampu memiliki sepeda
*onthel*sebagai kendaraan dinasnya. Sampai hari ini, sepeda
*onthel* itu masih setia menemani. Roda kehidupan Seladi ini tentu sangat
istimewa jika dibanding kehidupan anggota polisi pada umumnya.
Prinsip hidupnya sangat kuat untuk menegakkan kejujuran dan kesederhanaan.
Latar belakang orangtuanya sebagai petani di Desa Jokomulian, Kec Tirtoyudo,
Kab Malang, berpengaruh sangat kuat. Seladi kecil tidak punya cita-cita,
apalagi impian menjadi polisi. Di benaknya cuma ada satu keinginan, yakni
memperbaiki kesejahteraan hidup keluarganya.
''Untuk menjadi polisi bagi saya memang tidak ada jalan,'' ujar dia saat
menjalankan tugas *ngepam* di Pertigaan Ciliwung, Malang , Senin (2/7).
Untuk menggapai keinginannya, putra dari pasangan Tukiman dan Selani ini
melanjutkan sekolah SMP di Malang. Lulus SMP dia jualan koran di jalan-jalan
raya Malang . Kala asyik menjual koran, dia bertemu dengan seorang temannya
waktu di SMP. Seladi diajak mengikuti tes penerimaan anggota Polri. Ajakan
itu pun dipenuhinya, dan Seladi diterima. Gaji pertama yang diperolehnya
sebagai anggota Polri adalah Rp 15.500 per bulan.
Gaji sebesar itu tidak dia nikmati sendiri, namun dia pakai untuk membantu
orangtua dan adik-adiknya di kampung. Sebanyak tiga saudara dari delapan
saudaranya dibawa ke Malang untuk disekolahkan. Semua biaya dia tanggung.
Untuk menghidupi dan membiayai adik-adiknya itu, Seladi tidak mau
memanfaatkan 'baju' polisinya. Padahal, dia memiliki peluang sangat besar
untuk memanfaatkan jabatannya itu. Dia ditugaskan di tempat yang 'basah' --
di bagian pengurusan SIM Satlantas.
Karena gajinya tidak cukup, dia pun menunda perkawinannya dan hidup apa
adanya. Selama tujuh tahun dia hidup di asrama Polisi. Setelah berkeluarga
dengan Ngatiani, dia pindah ke rumah mertuanya, di kawasan Gadang, Gang VI,
Malang . Sejak saat itu, dia tidak mungkin lagi berjalan kaki ke kantornya,
karena dari rumah ke kantornya sekitar lima kilometer. Sementara, untuk
membeli sepeda motor dia tidak memiliki uang cukup. Dia pun terpaksa pulang
ke kampungnya untuk meminta sepeda *onthel* milik bapaknya yang selama ini
dipakai jualan pisang.
''Bapak saya sempat tanya, apa kamu tidak malu pakai sepeda *onthel*. Saya
jawab, kenapa mesti malu. Saya ini memang bekerja, tapi untuk mengabdi,''
kata pria keturunan Madura ini. Sejak memakai sepeda *onthel* itu, memang
diakuinya banyak orang, termasuk teman-teman di kantornya yang mencibir.
Tapi, juga tidak sedikit warga yang memujinya. Satu hal yang dirasakannya
menyakitkan terjadi saat beberapa di antara temannya mengatakan dirinya
sudah menjelekkan korp polisi, karena memakai sepeda *onthel*.
Seladi bukan tidak mau mengubah nasibnya. Untuk mendapatkan tambahan rezeki,
dia sempat membuka usaha kios bensin di pinggir jalan. Tragisnya, usaha
bensin yang digeluti itu justru terbakar ludes saat ditinggal menjalankan
tugas. Dia pun mencoba usaha baru dengan berjualan sepatu. Modalnya, dia
pinjam dari Koperasi Mapolresta. Sepatu itu dia jual kepada teman-temannya
di Mapolresta Malang .
Setelah usaha jualan sepatunya berjalan cukup baik, ayah tiga anak ini
mencoba mengembangkan bisnisnya. Dia jualan mebel. Kebetulan, banyak orang
yang memintanya. Untuk menambah modal, dia pinjam lagi ke Koperasi
Mapolresta. Sialnya, musibah datang. Usaha mebel yang dikembangkan justru
macet. Modalnya ludes. Sehingga, gajinya terpaksa habis untuk melunasi
pinjamannya ke koperasi.
Bersamaan dengan itu, orangtua dan istrinya sakit. Sementara, modal usahanya
sudah habis. Gajinya juga habis dipotong koperasi. ''Kala itu saya hanya
bisa pasrah dan tawakkal pada Allah. Alhamdulillah, Allah memberikan
pertolongan, tanpa saya harus melanggar hukum,'' ungkap dia. Sebenarnya,
bagi Seladi tidaklah sulit untuk bisa cepat hidup kaya. Dia punya 'jalan
mudah' mendapatkan dan mengumpulkan kekayaan.
Namun, baginya cara cepat yang tidak halal itu sangat bertentangan dengan
hati nuraninya. Bahkan, bantuan-bantuan dari pimpinan dan atasannya di
Mapolresta yang bersimpati atas kehidupannya selalu ditolak dengan halus.
Dia tidak mau hidup dari belas kasihan orang lain. Untuk menambah
penghasilan, kini dia mengumuplkan kerdus bekas untuk dijual sebagai
rongsokan.
Seladi kini mendiami rumah warisan dari istrinya. Rumah bertipe 36 itu
berada di kampung dan untuk menjangkaunya harus masuk gang. Rumah itu sangat
sederhana. Di dalamnya hanya terdapat TV dan sofa warna coklat yang sudah
lusuh. Di pintu kamar depannya tergantung tasbih warna coklat. Istri dan
anak-anaknya pun terlihat sangat sederhana. Mereka sudah menerima Seladi apa
adanya. ''Saya tidak pernah *nuntut* yang muluk-muluk. Sebab, tiap orang itu
kan punya prinsip. Biarkan orang mau bilang apa. Yang penting hidup
tenteram,'' kata Ngatiani. Untuk membantu menopang keluarganya, Ngatiani pun
berjualan kopi di depan Mapolresta.
saleum
Bidin