Lâ ilaha illa’l-lah:
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Daftar Isi (/Urutan Posting)
LATAR BELAKANG
Bab 1: Elohim (Allah), Dabar Elohim (Firman Allah) dan Ruah Elohim (Ruh Allah)
Bab 2: Targum: Messiah sebagai Memra (Firman Allah)
Bab 3: Kesadaran Almasih tentang Siapa DiriNya dalam Injil Sinoptik
Bab 4: Pergumulan Ummat Kristiani Awal tentang Status ‘Isa Almasih dalam Konteks Tauhid Yahudi
Bab 5: Pandangan Bapa-Bapa Gereja dari Masa Pra- Nikea (325)
Bab 6: Memahami Makna kekadiman Firman Allah: Perbandingan dengan Ilmu Kalam Islam
Bab 7: Nuzulnya Firman Allah menjadi Manusia: Keluar dari Allah tanpa meninggalkan Allah
Bab 8: Mengembalikan Manusia pada Fitrah Penciptanya menurut Shuratillah (Citra Allah)
Bab 9: Makna "Istiwa’An Yamin Al-Ab" dalam Kanun al-Iman
Bab 10: Mempertahankan Kekadiman Ruhullah dalam Majma’ Konstantinopel (381) dan sekilas Perbedaan Timur dan Barat
Bab 11: Latar Belakang Yudaisme mengenai Makna Ke-Tu(h)an-an (Lordship) Almasih
CATATAN KHAKI
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Latar Belakang
Tauhid Bani Israel diawali dengan kalimat yang berbunyi : Syema’ Yss-ra’el, YHWH Elohenu, YHWH Ehad. Artinya : dengarlah, hai Israil, TUHAN itu Ilah kita, TUHAN itu Esa. (Sefer Ha-Debarim /Ulangan 6:4). Orang Yahudi menganut paham Tauhid yang sangat keras, paham mana yang membedakan antara Yahudi dan Goyim (Gentiles,"non-Yahudi"). Orang Yahudi hanya percaya kepada YHWH (baca : "ha-shem", Sang Nama), Ia adalah satu-satunya Elohim (Ilah,"sembahan") Karena itu, dilarang keras menyekutukan dengan elohim-elohim (Arab: alihat,"ilah-ilah") yang lain (cf.Sefer Syemo/Keluaran 20 :2). Orang-orang Goyim sering dicirikan dan dibedakan dengan Israel, karena mereka melakukan dosa berat yang disebut ‘Abodah Zarah (penyembahan berhala).
Ummat Israel juga percaya, bahwa YHWH ialah satu-satunya elohim yang sebenarnya: "YHWH hu ha-Elohim" (Yoshua 18 : 39, "TUHAN, Dialah Elohim itu"). Secara harfiah, dalam bahasa Arab: " Ar Rabb, huwa al-Ilah" (Ar Rabb/TUHAN, Dialah Al-llah). Kata Al-Ilah menjadi Allah (The God, "Ilah yang benar"). Ditegaskan pula, "Tidak ada Ilah kecuali Al-Ilah (Allah)". Ungkapan ini merupakan terjemahan dari lafadz "Laa Ilaha illa ‘l-Lah", yang dikenal baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Kitab terjemahan bahasa Arab ( Lihat : I Korintus 8 : 4). Mengenai penggunaan kata Allah dilingkungan Kekristenan Arab, dapat dibaca batasannya dalam Qamus Al-Kitab Al-Muqaddas: "Allah adalah sebutan bagi Ilah yang menciptakan segala yang ada" (Allah, hadza ism al-Ilah khalaqa jami’al kainat).1) "Al" pada kata "Allah" dalam bahasa Arab adalah definite-article, yang menunjukkan kekhususanNya (cf. Ibrani : "ha-Elohim", Aram : "d’Allaha", Inggris : The God). Karena itu secara etimologis, bila direkonstruksi dari bahasa Ibrani : "Ein Elohim ella ha-Elohim", atau dari bahasa Arami : "Lait Allaha ella d’allaha"(cf.1 Korintus 8:4, Peshitta).2)
Bersambung ke: "1. Elohim (Allah), Dabar Elohim (Firman Allah) dan Ruah Elohim (Ruh Allah)"
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 1: Elohim (Allah), Dabar Elohim (Firman Allah) dan Ruah Elohim (Ruh Allah)
Kitab TENAKH (Thora, Nevi’im we Ketubim), yang oleh orang Kristen disebut Perjanjian Lama , menyaksikan bahwa Allah (Elohim) berada bersama dengan FirmanNya dan RuhNya (Ruah Elohim dan Dabar Elo-him), seperti tampak dalam penciptaan (Sefer Beresyit/Kejadian 1:1-3). Dikemudian hari, teologi Yahudi mengembangkan lebih lanjut paham tentang Hokmah/Hikmat yang kekal bersama dengan Allah. Demikian pula mengenai Ruah YHWH, Ruh TUHAN, khususnya dalam kaitan dengan karya Sang Mesiah yang akan datang (Yesaya 11:1). Kesusasteraan Hikmat itu, yang khususnya berkembang dalam Kitab Amsal, serta kitab-kitab kanon bahasa Yunani (Septuaginta). Hokmah itu, bertitah dalam penciptaan alam semesta sebagai "master kepala" (kiasan yang menunjuk, "Firman yang mewujudkan kehendak Allah". Hal itu tampak dalam Amsal 8:29-30, demikian bunyi teks Ibrani : "..behuqo mosedi arets, wa ehyeh etslo amon" (RSV: "…when He maked out of the foundations of the earth, then I was beside Him, like a master workman").3) Kata Ibrani "amon" juga berarti "Putra terkasih" seperti tampak dalam terjemahan Indonesia, dan itulah selanjutnya dikenal sebagai kias Alkitabiyah untuk Kalimatu'l-Lah (Firman Allah) dalam Tritunggal Mahakudus.
Peran hikmat ini lebih menonjol lagi, dalam Perjanjian Lama Septuaginta. Ia disebut sebagai "keluar dari Mulut Yang Mahatinggi" (Sirakh 24:3). Sedangkan dalam kebijaksanaan Salomo, Hikmat disebut "Pancaran murni dari kemuliaan Yang Mahakuasa" (Keb 7 :25) bahkan sebagai "pantulan cahaya kekal, cermin tak bernoda dari kegiatan Allah dan Gambar KebaikanNya" (ayat 26). Sedangkan semua sifat ini dalam tafsir-tafsir Yahudi pra - Kristen semua diterapkan bagi sifat kekekalan Mesiah, seperti akan kita lihat dalam kajian selanjutnya.
Bersambung ke: "Bab 2: Targum: Messiah sebagai Memra (Firman Allah)"
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 2: Targum: Messiah sebagai Memra (Firman Allah
Menariknya lagi komentar-komentar bahasa Aramik dari TENAKH (Perjanjian Lama) yang disebut Targum, menerapkan Memra Ilahi dalam pribadi Mesiah yang akan datang. Kata Memra ini, dapat dibandingkan dengan istilah Arab "amr dalam al-Qur’an: Targum Onqelos menyebut hubungan itu 179 kali, Targum Yerushalmi menyebut 99 kali, dan Targum Yonathan 321 kali. Dalam Targum tersebut memra adalah firman Allah yang dipersonifikasikan, yang melaluiNya Allah menciptakan alam semesta. Contohnya, Sefer Debarim/Ulangan 33:27 berbunyi : "me’anah elohe Qedem umitahat zero’at ‘olam" (Allah yang abadi tempat perlindunganmu, dan di bawahmu ada lengan-lengan yang kekal). Targum Onqelos menafsirkan ayat Taurat tersebut "medor Allaha d’milqadmin be meimreh mit’aved ‘alama". (Inilah perlindungan Allah, yaitu Memra yang melalui-Nya telah diciptakan alam ini).4)
Selanjutnya, salah satu doa yang diulang-ulang dalam Talmud Yahudi berbunyi : "adonay, Melek ha’olam,ha kol nihyah bi-Dabro" (TUHAN, Raja yang kekal, yang menciptakan segala sesuatu dengan FirmanNya).5). Jadi identifikasi antara Memra dalam Targum (atau Dabar Yahweh dalam Talmud ) dengan Mesiah yang akan datang, secara jelas sekali membuktikan kesinambungan pernyataan Injil Yohanes 1:1-14, tentang kekekalan Firman Allah (Logos tou Theou) yang melaluinya Allah menciptakan segala sesuatu (ayat 3), dan yang telah nuzul menjadi Manusia Yeshua (‘Isa) yang oleh umat kristen diyakini sebagai Mashiah (Al-Masih) yang telah datang, dan dengan demikian menggenapi seluruh pengharapan Yahudi itu.
Bersambung ke: "Bab3: Kesadaran Al-Masih sendiri tentang siapa Dirinya dalam Injil Sinoptik"
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab3: Kesadaran Al-Masih sendiri tentang siapa Dirinya dalam Injil Sinoptik
Salah satu dari citra-citra kristologis yang diterapkan pada Yesus dalam jemaah Kristiani awal, justru injil-injil sinoptik merekam ucapan-ucapan Yesus, baik sebagai pengajar Hikmat, tetapi malah sebagai penjelmaan Hikmat Allah sendiri. Sebagaimana dalam kemanusiaanNya Ia disebut Rasul juga (Ibrani 3:1), maka Yesus terkadang menggabungkan DiriNya sebagai putra-putra Hikmat dalam tradisi Yahudi : "W’iz-dadqat Hekmta min khulhon bnih". Artinya : Tetapi hikmat dibenarkan oleh putra-putranya (Lukas 7:35, Peshita Arami).
Tetapi pada bagian lain, Yesus menampilkan DiriNya lebih dari sekedar putra-putra Hikmat. Seringkali Ia mengawali wejanganNya dengan kata Arami Amen, "Sesungguhnya", sesuatu hal yang tidak lazim dalam tradisi ke-Nabi-an Yahudi manapun. Bahkan Yesus sendiri menyadari diriNya bukan sekedar Nabi pekabar Hikmat, melainkan Hikmat Allah sendiri ("sophia tiu Theou", teks Yunani; "Hokmah ha Elohim", Ibrani: "Hikmata d’ Allaha", Peshitta Arami ) yang mengutus Nabi-nabi dan Rasul. Yesus mengawali wejanganNya dengan wacana, "Sebab Hikmat Allah berkata: Aku akan mengutus kepada mereka Nabi-nabi dan rasul-rasul…."(Lukas 11:49). Bahkan dari penelitian seksama atas wacana-wacana pengajaranNya, acapkali Ia mengucapkan sabda-sabda yang pada zamanNya hanya diterapkan bagi Himat Allah: "Marilah kepadaKu hai kamu yang letih, lesu dan berbeban nerat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang, dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan" (Matius 11:28-30). Ucapan tersebut menggemakan kembali kuk Hikmat Allah dalam kesusasteraan Hikmat yahudi : "Kemari, hai kamu yang tidak berpengetahuan, dan marilah belajar kepadaKu. Berapa lama kamu masih mau ini dan itu, dan hatimu mau tinggal dahaga. Aku mau membuka mulutKu untuk berfirman : Marilah, ambillah kebijaksanaan dengan cuma-cuma. Hendaklah menundukkan dirimu di bawah kuk itu, dan hatimu hendaknya menanggung bebanNya. Ia dekat dengan orang yang mencariNya, dan barangsiapa membulatkan hatinya dan menemukanNya" (Sirakh 51:23-26,teks Ibrani).
Sabda-sabda Yesus historis itulah yang akhirnya direkam dalam iman jema’ah Kristiani awal, baik yang terutama ditulis oleh Yohanes dalam Injilnya (Yohanes 1:1-14) maupun dalam surat-surat rasuli, misalnya tertulis dalam 1 Korintus 1:30 yang menyebut ‘Isa al-Masih sebagai Hikmat Allah, tanpa melepaskan dengan keesaanNya, seperti tertulis dalam bahasa Arami:"Ak anatton dein minneh anatton b’yeshu’a mashiha haw daheyya lan hekmta min Allaha (Allah adalah sumber hidupmu dalam al-Masih ‘Isa, yang telah menjadi bagi kita Hikmat yang berasal dari Allah) (1 Korintus 1 :30, Peshitta).
Bersambung ke: "Bab 4. Pergumulan Ummat Kristiani Awal tentang status ‘Isa Al-Masih dalam konteks Tauhid Yahudi."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 4. Pergumulan Ummat Kristiani Awal tentang status ‘Isa Al-Masih dalam konteks Tauhid Yahudi.
Iman Yahudi berporoskan Tauhid sebagaimana diikrarkan dalam Shema’, dan Almasih sendiri menyebutnya sebagai Mitsvah ha-Risyonah, "hukum yang terutama" (Markus 1:29). Tetapi seperti ummat Yahudi merenungkan kekadiman Memra sebagai penegak ciptaan dalam pengharapan Mesianik mereka, tanpa mencederai Mitsvah ha-Risyonah tersebut, demikian pula ummat Kristiani awal menggumuli status Yesus berdasarkan wacana-wacana pengajaranNya yang menunjuk kepada Memra itu. Salah satu hal yang jelas, bahwa seluruh permenungan mereka tentang Memra itu, selalu dipagari dengan penekanan soal Keesaan Allah (Tauhid) sebagi tema utama: "…. d’had hu, wlait allaha aherin Ibar minneh". Allah itu Esa dan tidak ada Ilah lain selain Dia (Markus 12:29), Peshitta). Demikian juga Injil Yahya yang memakai ungkapan Yunani Septuaginta Logos (Kalimatu’l-Lah), merumuskan bahwa Kalimatu’l-Lah yang kadim/kekal bersama Allah itu bukan lain dari Allah, dan justru Allah menciptakan segala sesuatu dengan FirmanNya (Yahya 1:1-3).
Dengan latar belakang perenungan Yudaisme mengenai Memra dan Hokmah, rasul Paulus menulis status istimewa Almasih tersebut, tetapi dengan sangat hati-hati membukanya dengan kalimat : "Oudeis Theos ei me Eis" yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Arab : La ilaha ila l-lah (1 Korintus 8:4-6), "Tidak ada Ilah selain Allah"). Ditekankan selanjutnya bahwa Allah itu Esa yaitu Bapa, yang dariNya berasal dan KepadaNya kita kembali (Ilahu Wahid, wa huwa Al Abu Iladzi minhu kullu syai’in wa ilaihi narji’u), dan berangkat dari pemikiran soal Memra yang diterapkan bagi Yesus, yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan dan karenaNya kita hidup (wa huwa Yasu’ al Masihu lladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahya.) 6) Jadi yang ditekankan dari kiasan Bapa adalah Wujud Allah sebagai sumber segala sesuatu, yang dari padaNya Kalimatu’ l-Lah dan Ruhu’l-Lah yang kadim keluar dari Wujudnya yang kadim pula. Dengan demikian Kalimatu’ l-Lah dan Ruhu’l-Lah bukan sesuatu yang berada di luar Allah. Sebab tentang Kalimatu’l-Lah, disebutkan : "Aku keluar dan datang dari Allah" (Yahya 8:42), demikian pula tentang Ruhu ‘l-Lah, ".yaitu Ruh Kebenaran, yang keluar dari Bapa" (Yahya 15 :26),cf.1 Korintus 2 : 10-11). Jadi, baik Firman Allah maupun RuhNya keluar dari Wujud Allah dalam lingkaran keabadian. Sebutan Ruh Kudus sebagai Ruh ‘Isa (Kisah Rasul 16:7; Filipi 1 :19), hanya menekankan bahwa Ruh Penghibur itu diutus Bapa dalam Nama MesiahNya (Yahya 14 :26), bukan berarti Ruh itu secara kekal keluar dari Putra juga, sebab wujud Allah itu hanyalah Esa semata-mata (cf. 1 Korintus 2:10-11)
Bersambung ke: "Bab 5. Pandangan Bapa-bapa Gereja dari Masa Pra-Nikea."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 5. Pandangan Bapa-bapa Gereja dari Masa Pra-Nikea
Tulisan-tulisan Bapa Gereja (the Apostolic Fathers) ini sangat penting, karena ditulis dari angkatan rasul-rasul, atau paling dekat dengan zaman rasuli sendiri (meminjam istilah Henry H. Halley,"sub-Apostolic Fatrhers").7) Dari berbagai tulisan dari murid-murid para Rasul Al-Masih ini, kita dapat melacak perkembangan ajaran akidah Kristiani yang mengaitkannya langsung dari "mereka yang dari semula adalah saksi mata pelayanan Firman" (Lukas 1:2). Secara historis para ahli sepakat, bahwa Ignatius (67-110), Polycarpus (69-156) dan Papias (70-155) dapat disebut "mata rantai" yang menghubungkan angkatan rasul-rasul dengan gereja masa kemudian. Mengenai Allah yang Esa dalam hubungannya dengan Al-Masih dan Ruh KudusNya, Polycarpus, murid rasul Yahya menulis dalam doanya: "Karena alasan ini dan karena semua hal ini, Aku memuji, membesarkan dan memuliakan Engkau, ya Allah, melalui Imam besar surgawi dan kekal Yesus Kristus, PutraMu yang terkasih, dan Roh KudusMu dimuliakan kiranya sekarang dan selama-lamanya".8) Sedangkan Ignatius, murid rasul Yahya yang ditahbiskan langsung sebagai Patriakh Anthiokia di Syria oleh Rasul Petrus,9) menulis demikian: "Bahwa hanya ada satu Allah yang menyatakan DiriNya sendiri melalui Yesus Kristus PutraNya yaitu FirmanNya yang keluar dari keheningan yang kekal".10). Dalam suratnya kepada orang-orang Efesus, Ignatius secara jelas menulis mengenai Dia "baik secara daging dan secara roh, yang dilahirkan dan tidak dilahirkan, yang Ilahi dan yang insani, yang dapat mati dan yang tidak dapat mati, yang keluar dari Maria (sebagai manusia) dan keluar dari Allah (sebagai Firman Allah), yang pertama terpahami dan yang kedua tidak terpahami, yaitu Yesus Kristus, Tu(h)an kita".11). Mengenai keputraan Ilahi-Nya, Clement, uskup Roma ketiga (sekitar tahun 95) menulis : "Mengenai PutraNya, yaitu Junjungan kita, tertulis demikian : Engkaulah Putra-Ku, hari ini Aku telah melahirkan Engkau."12). Selanjutnya Surat Barnabas, ditulis antara tahun 90-120 (yang harus dibedakan dengan tulisan palsu berjudul Injil Barnabas dari abad XVI), juga menyaksikan mengenai "Putra Allah yang dinyatakan dalam daging melaui suatu cara".13). Sedangkan Gembala Hermas (ditulis antara tahun 100-104) menyebut keilahian Kalimatu’l-Lah sebagai "Putra Allah yang besar dan tak terpahami, yang menopang alam semesta".14)
Pada generasi berikutnya, Yustinus Martyr (100-167) dalam karyanya berjudul II Apologi (13), menegaskan bahwa Almasih sebagai Kallimatullah itu ghair al-Makhluq (tidak diciptakan): "Karena itu kami meyembah Allah, tetapi kami juga menyembah dan mengasihi Firman yang keluar dari Allah, yang tidak diciptakan dan kebesaranNya tidak terhingga. Ia telah menjadi manusia demi kita, dan turut menderita bersama kita, agar Ia dapat membawa kesembuhan bagi kita’.15). Lebih jelas lagi Ireaneus (130-200) yang mengenal Polycarpus, meringkaskan pengakuan iman Kristiani purba dalam karyanya Advertus haereses : "Allah itu Esa, yaitu Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi, dan lautan serta segala yang di dalamnya; dan kepada satu Kristus Yesus, Putra Allah , yang telah menjadi Manusia demi keselamatan kita, dan kepada Ruh Allah, yang melalui para Nabi telah menyatakan pekerjaan Allah bagi ummat Manusia, serta pada kedatangan, kelahiran dari seorang Perawan, penderitaan, kebangkitan dari antara orang mati dan kenaikan secara badani dari Junjungan kita Yesus Kristus, dan kedatanganNya yang kedua kali dari surga dengan kemuliaan Bapa".16). Mengenai keesaan Allah, kekadiman Memra atau FirmanNya yang dipahami dalam konteks kedatangan Yesus, dan mengenai Ruh Kudus yang juga keluar dari Allah secara kekal bersama FirmanNya, selanjutNya Tertulianus (160-207) mulai merumuskan dalam istilah-istilah teologis seperti ousia ( dzat, jawhar) dan hypostasis (uqnum, shifat) yang akhirnya dipakai Gereja untuk merumuskan akidah tentang sifat ketritunggalan dalam Keesaan WujudNya dan nuzul-Nya Firman Allah yang menjadi Manusia.17) Dalam bahasa Arab biasanya dirumuskan, "Allahu wahid, wa huwa tsalatsatu aqanim mutasawiyyat fi al-jawhar",18) Artinya : Allah yang esa mempunyai tiga hypostasis/ke-"ber-ada-an" yang sehakikat dalam jawhar/dzat. Kata "mutasawiyyat fil jawhar" (sejajar dalan dzat yang satu) ini, sama sekali bukan mengandaikan bahwa adanya perbandingan itu menunjukkan keterpisahan, melainkan untuk menekankan pergumulan gereja menghadapi bid’ah-bid’ah yang waktu itu memisah-misahkan ketiga hypostasis dalam diri Allah yang Esa tersebut. Misalnya, kaum Arian, yang mengajarkan ke-"mahluk’-an Kalimatu ‘l-lah (Firman Allah), dan kaum Makedonia yang mengajarakan ke "mahluk"-an Ruhu ‘l-lah (Ruh Allah).
Penekanan mengenai Keesaan Allah dan KalimatNya yang ghair al Mahluq ini, tetap menjadi tema sentral karya-karya para bapa Gereja selanjutnya, dengan rumusan-rumusan yang kurang lebih sama, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan kecil dalam rincian hubungannya. Sedangkan Eusebius, seorang muwarikh Gereja pertama (260-310), merumuskan pra-Ada Almasih sebagai "Firman dan Juruselamat kita satu-satunya yang dilahirkan dari Allah.", 19) dan "Firman yang sudah ada sebelum alam semesta, pelindung segala sesuatu, memberikan benih hikmat dan keselamatan kepada murid-muridNya".20) Bagaimana rincian hubungan antara Allah dengan FirmanNya yang juga kadim dalam Wujudnya itu kemudian dirumuskan dalam Majma’ (Konsili) Nikea tahun 325, karena rangsangan ajaran Arius yang menyangkal kekekalan Firman Allah. Dalam menhadapi ajaran ini, Gereja berdasarkan Alkitab dan paradosis (sunnah) rasul-rasul Al-masih, serta ajaran bapa-bapa Gereja (sub- Apostolic Fathers) seperti yang diuraikan di atas, lalu megaskan kekekalan Firman Allah dan nuzulNya fi al-makan wa az-Zaman (dalam ruang dan waktu) yang dilahirkan oleh Perawan Maryam.
Bersambung ke: "Bab 6. Memahami Makna Kekadiman Logos/Firman Allah : Perbandingan dengan Ilmu Kalam Islam."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 6. Memahami Makna Kekadiman Logos/Firman Allah : Perbandingan dengan Ilmu Kalam Islam
Perdebatan-perdebatan kritologis mengenai Kalimatullah ("logos tou theou") yang mementaskan pertanyaan makhluq (ciptaan) atau ghayr al Makhluq (bukan ciptaan) dalam gereja dirangsang oleh ajaran Arius, yang mengatakan bahwa "ada suatu waktu tertentu dimana Kalimatullah belum ada". 21) Maka gereja bereaksi keras menjawab pandangan Arius itu, melalui Konsili Nikea (325) yang sebaliknya menegaskan kekadiman Logos Ilahi yang satu dalam Wujud Allah, sebagaimana dikutip dalam teks bahasa Arab demikian : "…. Al Mauludi mina l-Abi qabla kulla d-Duhuri, nuri min nuri, Ilahu haqqi min Ilahu haqqi, maulud ghayru l-Makhluqi, al Wahidi ma’a l-Abi fi dz-Dzati, Alladzi bihi kana kullu syai’in. Alladzi min ajlina nahnu l-Basyara, wa min ajli khalashina nazala mina s-sama’I wa tajjasada bi Ruhi l-Quddusi, wa min Maryam al Adzra’I l-Batuli wa shara insanan".22)
("….yang dilahirkan dari Bapa/Wujud Allah sebelum segala zaman, Terang yang keluar dari Sumber Terang, (Firman) Allah yang sejati yang keluar dari (Wujud) Allah sejati, dilahirkan dan bukan diciptakan/ghayr al-Makhluq, satu dengan Bapa dalam Dzatnya, yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan. Yang demi kita dan demi keselamatan kita manusia, telah nuzul dari surga, dan menjelma oleh kuasa Ruh Kudus dari Perawan Maryam yang terjaga dan menjadi Manusia).
Dengan penegasan itu, Gereja menolak pandangan Arius yang terbukti disusupi filsafat Yunani tentang adanya Demiurgos (semacam the intermediary being, "Makhluk pengantara") yang bukan Allah dan bukan manusia, dengan demikian dianggap membahayakan Tauhid. Sebab apabila Kalimatu ‘l-lah atau "Aql Al-llahiy (akal Ilahi) diawali oleh waktu atau diciptakan, hal itu menyangkal kemahakuasaan Allah sendiri, sebab Allah pernah ada tanpa memiliki FirmanNya yang harus sama-sama kadim dalam Wujud Dzat-Nya. Juga, bila Firman Allah diciptakan , dengan apakah Allah menciptakan FirmanNya tersebut? Sebab justru segala sesuatu telah diciptakan melalui firmanNya yang Kadim itu sendiri (Sefer Beresyit/Kejadian 1:3; Yahya 1;3). Argumentasi Gereja dalam melawan Arius yang mengajarkan ke-makhluq-an FirmanNya ini, kurang lebih dirumuskan Al-Anba Yuanis, uskup Gereja Orthodox Coptik yang sehaluan dalam akidah dengan Gereja Orthodox Syria, dalam bukunya ‘Aqidat al-Masihiyin fi al-Masih demikian: "Tidak pernah ada sekejappun dalam suatu waktu, dimana Dzat Ilahi itu ada tanpa 'Aql atau pikiranNya, karena itu 'Aql atau pikiranNya tersebut berada dalam Allah tanpa pemisahan denganNya, sebab Allah itu tidak terbagi-bagi" (wa lam tamara lahdhat min zamani kanat adz Dzat al Ilahiyyat bidzunu ‘Aql, faa al 'Aqlu fi l-Lahi laysa juz’un minhu, liana l-Lahu la yutayaza’).23) Karena itu secara logis pula, Pikiran Ilahi itu selalu berdiam dalam Dzat Ilahi secara azaliy atau tanpa permulaan" (Al ’Aqal al- Ilahiy al-kainu fi adz Dzat al-Ilahiy mundzu ‘azaliy).24) Perdebatan tersebut kemudian disusul dengan polemik panjang krirtologis, soal bagaimana nuzulNya Kalimatullah itu sebagai Manusia sebagaimana ditekankan Injil Muqaddas (Yahya 1:14), yang kemudian dipentaskan kembali dalam majma’(konsili) Efesus tahun 431.
Mengenai tema kristologis ini, kita menemukan rumusan yang sangat tepat dalam konsili Efesus (431), bahwa "Almasih itu sebagai Firman Allah telah lahir sebelum segala zaman dari Bapa tanpa seorang ibu, dan dalam nuzulNya sebagai Manusia ia lahir dari ibu tanpa seorang bapa".25). Frasa Lahir dari Bapa tanpa seorang ibu, menekankan bahwa kelahiran Putra (Kalimatu ‘l-lah) dari Bapa (Wujudu’l-lah) adalah kelahiran dalam lingkaran keabadian, mengatasi aspek ruang dan waktu, sebab Allah memang "Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan". Karena itu gelar Putra Allah sama sekali tidak berkonotasi fisik atau biologis. Paralel dengan makna Lam Yalid wa Lam Yulad dalam al-Qur’an, prinsip ini dikenal dalam ungkapan bahasa Arami : La min tsvyana de Basra, wla min tsivyana de gabra (bukan lahir dari daging, dan bukan lahir dari darah). Sebaliknya frasa Lahir dari ibu tanpa seorang bapa, menekankan kelahiran fisikNya ke dunia dari Maryam yang perawan, tanpa campur tangan seorang laki-laki sebagaimana lazimnya manusia lainnya, kendati dalam wujudnya NuzulNya Almasih itu sepenuhnya adalah Manusia.
Perdebatan kristologis semacam yang dialami Gereja ini, dapat dibandingkan dengan perdebatan dalam Ilmu Kalam Islam soal status Al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi. Posisi Arius, kendatipun tidak persis sama, ditempati oleh kaum Mu’tazilah yang menekankan kemahluqan al-Qur’an, sedangkan posisi Gereja ditempati oleh kaum yang mempertahankan bahwa al-Qur’an itu ghayr al makhluq (bukan ciptaan). Kemenangan orthodoksi Islam ini akhirnya melembagakan diri menjadi kaum Ahl as Sunnah wa Al Jama’ah, sebagaimana pula Gereja ketika melawan sekte-sekte heresy dalam syahadatnya menegaskan diri sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik (cf. terjemahan Arab : Kanisah wahidah, muqaddasah, Jami’ah wa Rasuliyah). Sebagaimana gereja menegaskan keabadian Almasih, karena tabiat Ilahi-Nya sebagai Kalimatullah yang dilatar belakangi pemikiran Yudaisme tentang Memra , demikian pula al-Asy’ari menekankan keabadian ‘amr Ilahi yang tidak tercipta, sebab justru melaluiNya ‘alam semesta ini diciptakan. Al Qur’an, surat Ar Rum/30:25 menyebutkan: Wa min ayaatihi an taqumas samaa’u wal ardhu bi ‘amrihi (Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah tegaknya langit dan bumi dengan ‘amr atau perintahNya). Al Asy’ari menekankan, bahwa "yang dimaksud dengan ‘amr atau perintahNya dalam ayat tersebut adalah Kalam Allah".26) Lebih lanjut, mengenai relasi antara sifat-sifat Allah dengan Dzat Allah, Ilmu Kalam Islam mempertahankan dalil berbunyi, Ash shifat laysa Adz Dzat wa Laa hiya ghairuha (sifat-sifat Allah itu tidak identik dengan Dzat Allah, tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat Allah).27) Penegasan ini paralel dengan Firman Allah (Logos) yang kadim bersama Allah dan serentak pula bukan lain dari Allah (Yahya 1:1-3). Perbedaannya, dalam ajaran Kristiani Kalimatullah itu nazala min as sama’i wa tajjasadan bi Ruhil Quddus, wa min Maryam Al Adzra’i Al Batuli wa shara insanan (telah nuzul dari surga dan menjelma oleh kuasa Roh Kudus, dari perawan Maryam yang terjaga dan menjadi manusia). Sedangkan dalam Islam sebagaiman disebutkan dalam surah Ali Imran/3:3, Kalam Allah itu nazala 'alaikal Kitaba bi al Haqq (telah nuzul kepada Muhammad sebagai Al-Qur’an dengan kebenaran). Juga, Gereja membedakan tabiat ke-"makhluq"-an Kemanusiaan Almasih dengan tabiat ke"ghair al Makhluq"-an kalimat Allah yang kadim dan satu dengan KeesaanNya. Pada alur pikir yang paralel, ilmu Kalam Islam juga membedakan antara Qur’an sebagai Kalam Nafsi yang kadim dan berada di Lauh al-Maffudz, dengan Kalam Lafdzi yang bersifat baru, tersusun dalam kalimat, warna dan suara yang menandai ciri-ciri fisik Qur’an temporal yang diturunkan itu.
Bersambung ke: "Bab 7. Nuzulnya Firman Allah menjadi Manusia : Keluar dari Allah tanpa meninggalkan Allah."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 7. Nuzulnya Firman Allah menjadi Manusia : Keluar dari Allah tanpa meninggalkan Allah
Penegasan mengenai kelahiran kekalNya, menegaskan bahwa Keputraan Ilahi tidak bersifat ragawi, atau suatu proses fisik yang mengalami perubahan dan perkembangan. Makna logos atau memra sebagai "intelligent expression" yang satu dalam Allah, dapat dikiaskan dengan pikiran dalam diri seseorang. Pikiran itu melahirkan ide-ide, yang keluar dari diri seseorang berwujud kata-kata. Abba Senouda III, dalam bukunya Ats Tsaluts Wa at Tawhid, 28) menulis bahwa : "Kalimatullah yang kadim itu keluar dari Allah yang kadim, pada saat yang sama Kalimatullah itu tetap berada dalam diri Diri Allah". Ketika kita berpikir, pikiran kita bergerak keluar dan terucapkan menjadi kata-kata yang bersuara dan dapat didengarkan orang-orang di sekeliling kita, dan pada saat yang sama pikiran itu tetap berada dalam diri kita. Selanjutnya ketika pikiran-pikiran itu dituliskan, ia memasuki halaman demi halaman buku, yang akhirnya diterbitkan dan dibaca ribuan orang. Dapat dikatakan, buku itu menjelmakan pikiran kita, tetapi kertas, huruf-huruf dan tinta yang digunakan menulis pikiran kita tersebut, tidak dapat diidentikan dengan kita dan pikiran kita, meskipun tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Wujud buku yang menjelmakan pikiran kita tersebut, bisa saja musnah terbakar, tetapi pikiran kita yang tetap satu dengan diri kita, tentu saja tidak ikut musnah dan terbakar. Demikianlah Gereja sampai pada kesimpulan, bahwa kematian Almasih terjadi pada wujud nuzul-Nya yaitu tubuh jasmaniNya sebagai manusia (Kolose 1:19; Filipi 2:8; I Petrus 3 : 18). Kendatipun demikian, kita juga tidak memisahkan begitu saja tabiat kemanusianNya itu dengan tabiat IlahiNya sebagai Kalimatullah. Ibarat pikiran seseorang dijelmakan dalam sebuah karya tulis, dengan nuzulNya Kalimatu’l-lah itu "Kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia" (Kolose 1:19). Sebagaimana kristologi gereja-gereja non Kalsedonia pada umumnya, Gereja Orthodox Syria mempertahankan formula Mar Kyrillos dari Alexandria yang menekankan kesatuan "subyek" dalam Almasih sebagai "mia physis/hypostasis ton theon logon sesarkomene" (satu tabiat /pribadi Firman Allah yang menjelma). Maksudnya, Almasih adalah satu pribadi yang berasal dari dua, dan satu tabiat ganda yang berasal dari dua tabiat (uqnuman Wahidan min uqnumain, wa thabi’atan Wahidah murakkabat min thabi’atain), sedemikian rupa hingga tanpa berbaur dan tanpa berubah.29) Kesatuan tabiat ganda Almasih yang berasal dari dua tabiat ini, dengan jelas juga digambarkan oleh Bapa Gereja Syria, Mar Ya’qub Ar Rahawiy (Yakub dari Edessa) dalam bukunya Al-Tadbir Al-Khalashiy li-Kalimatu ‘l-lah Al-Muttajasad, dengan kata-kata yang indah demikian :
wulida min Al-Abi qabla kulla duhr, wulida min Al-Adzra’ al-Qadisah fi akhir al-azman,huwa dzatuhu al-Ilah wa al-Insan, wa huwa nafsahu, Ibn al-Lah al-Wahid, huwa as Samawiy wa huwa al-Ardhiy dunu tabalbala. Innahu Ibn al-Ab wa Ibn Maryam dunnu taghayyara.30). (yang lahir dari Bapa/Wujud Allah sebelum segala abad, yang lahir dari sang Perawan suci pada masa akhir ini, bersifat Ilahi sebagai Firman Allah, sekaligus bersifat insani dalam wujud nuzulnya ke dunia . Dia sendirilah Putra Allah yang tunggal. Ia yang surgawi sekaligus yang duniawi, tanpa percampuran, Putra sang Bapa sekaligus putra Maryam tanpa pertukaran).
Mempertahankan kesatuan subyek Almasih itu, dianggap sangat penting agar kita tidak memisahkan begitu saja antara KeilahianNya sebagai Kalimatullah dengan kemanusiaanNya yang menanggung penderitaan dan kematian tersebut. Justru kesatuan "subyek" ini perlu ditekankan, bahwa Ia yang mengalami penderitaan dan kematian dalam tabiat kemanusiaanNya itu, tidak bisa dilepaskan dengan keilahian Kalimatu’l-Lah yang satu dengan Allah yang tidak tersentuh penderitaan dan kematian. Mar Ireaneus mengatakan, " Melalui Yesus, Allah turut berbela rasa karena penderitaan manusia". 31) Penekanan sifat rahimi Allah yang turut berbela rasa, menghantam telak pandangan Yunani tentang Dewa yang bersifat impassibilitas (tanpa emosi dan rasa). Ibaratnya, walaupun tidak ada luka segores pada tubuh seorang Raja ketika bendera kerajaannya diinjak-injak musuh, tetapi sebenarnya harga dirinya sudah jatuh tanpa kehormatan lagi. Dengan kematianNya di kayu salib, Allah yang tidak dapat menderita dan tak tersetuh maut itu, turut merasakan penderitaan dan kematian. Gereja Orthodox Syria bisa menerima rumusan kristologis "satu dari dua tabiat" (bi-Ittahada ath Thabi’atain), sebab Mar Kyrillos dari Alexandria mengatakan bahwa rumusan orang-orang Kristen di Timur "dua tabiat yang menjadi satu" (shara Ittahada ath Thabi’atain), sebenarnya sama saja dengan rumusan "kesatuan dari dua tabiat" (Wahdaniyyat ath Thabi’atain), atau "satu tabiat (Firman) Ilahi yang menjadi manusia" (bi ‘an al Ilahu al Mutajjasad thabi’at Wahidah).32)
W.C. Smith, seorang pakar Ilmu Agama-agama, membandingkan rumitnya pergumulan Gereja tentang kedua tabiat Almasih ini dengan pergulatan teologis Ilmu Kalam Islam, bahwa "menelusuri kritisisme historis al Qur’an adalah lebih seperti menelusuri psiko-analis Yesus".33) Untuk menemukan paralel lebih dekat, yang bisa membawa kita menuju terbangunnya saling pengertian, berikut kita kutip pandangan al-Ghazali dalam bukunya Qawaid al ‘Aqaid,34) yang dengan jelas menekankan al-Qur’an yang abadi sebagai "firman yang ‘azaliy (terdahulu) dan qadim (tanpa permulaan), yang selalu qaimah (berdiri) dengan Dzatnya" (kalamin azaliyyin qadmun qaimun bi-dzatihi), yang berbeda dengan ucapan seorang mahluk , dan bukan melalui suara yang timbul dari gesekan udara atau pukulan benda-benda, tidak juga dengan aksara yang terputus melalui lipatan bibir atau gerakan lidah" (laa yusybihu kalama l-khaligi falaisa bi-shautin yahdutsu min insilaali hawa’in aw ishthikali ajraamin, wa laa biharhin yangathi’u bi-athbaqi syafatin aw tahriiki lisanin).35) Karena itu sebagaiman gereja percaya kepada satu Almasih yang fial makan wa az Zaman (dalam ruang dan waktu) dilahirkan oleh Maryam, dan pada saat yang sama satu dengan Allah dalam Dzatnya sebagai Kalimatullah yang ‘azali dan qadim,36) demikian juga al - Ghazali menekankan,"bahwa al-Qur’an yang dibaca melalui lidah, tertulis dalam lembaran-lembaran, serta bisa dihafalkan tersebut, bersamaan dengan itu sebenarnya qadim dan qaimah dalam Dzat Allah, tidak menerima perceraian, perpisahan baik melalui perpindahan ke hati maupun ke lembaran " (wa ‘an al-Qur’ana muqru-un bi alsinati maktuubun fi al-mashahifi mahfuuhun fi al-quluubi, wa annahu ma’a dzalika qadiimun qa’imun bi-dzati L-lahi ta’ala, laa yuqbalu ilanfishala wa ilaaftraqa bi al-intiqali ila al-qulubi wa al awraaqi).37)
Bersambung ke: "Bab 8: Mengembalikan Manusia pada Fitrah Penciptanya menurut Shuratillah (Citra Allah)."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
Bab 8: Mengembalikan Manusia pada Fitrah Penciptanya menurut Shuratillah (Citra Allah).
Sebagaimana ummat Islam memahami Firman Allah yang kadim telah nuzul dalam bentuk temporalnya Qur’anan ‘Arabiyyan (Kitab Qur’an berbahasa Arab), maka dari kacamata dialog teologis Kristen-Islam ummat Kristen dapat mengajukan paralelnya : "Kalau Firman Allah bisa nuzul jadi kitab, tidak sulit mestinya memahami keyakinan Gereja mengenai nuzulnya Firman Allah menjadi Manusia, sebagai puncak segala ciptaan Allah?". Diantara tulisan-tulisan patristik awal, kita menemukan alasan teologis mengenai makna nuzulnya firman Allah menjadi manusia.
Berangkat dari fitrah manusia yang diciptakan menurut Shurati l-Lah (Citra Allah), Mar Athanasius dari Alexandria mengatakan bahwa "tidak ada yang menciptakan kembali orang-orang dalam citra Allah, kecuali Citra Allah sendiri".38) Citra Allah di sini menunjuk pada Junjungan kita al-Masih sendiri dalam tabiat IlahiNya sebagai Kalimatullah (Filipi 2 :5; Kolose 1: 17). Sedangkan menurut Kejadian 1:26-27, Allah menciptakan manusia menurut CitraNya (terjemahan Arab, "fa khalaqa Ilaha al Insana ‘ala shuratihi"). 39) Maksudnya manusia bukanlah citra Allah, tetapi diciptakan menurut Citra Allah. Dengan kebangkitanNya dari antara orang mati, "Ia menunjukkan bahwa tubuhNya tidak dapat binasa, sebagai buah sulung kebangkitan semua orang. Melalui kematianNya maka kekekalan menjangkau seluruh ummat manusia. Karena Firman Allah menjadi manusia, maka pemeliharaan kesemestaan bersama Sang Pencipta dan pemimpinnya, yaitu Firman Allah itu sendiri telah diperkenankan". 40) Jadi, nuzulnya Kalimatu ‘l-Lah mengembalikan manusia kepada fitrah penciptaannya mula-mula menurut Shurati l-lah yang telah carut marut karena kejatuhan (hubuth) dalam dosa. Memang, dosa manusia tidak merusakkan total pengenalan manusia akan Allah (Rum 1:20), tetapi karena kejatuhan itu mengakibatkan turunnya kualitas ruhaniah manusia secara drastis yang menghalangi jalan kembali manusia kepada Allah, sehingga diperlukan bantuan rahmat Sang Penebus. Manusia yang terhilang dari Allah, ibarat sudah melupakan fitrahnya yang diciptakan menurut Shurati l-Lah tadi, karena itu Shurati l- Lah itu sendiri, yakni Kalimat Allah yang kadim, melalui nuzulnya menjadi manusia di tengah-tengah ummat manusia, bermaksud mengembalikan manusia kepada fitrah itu, dengan cara mementaskan kembali Citra DiriNya, agar manusia dapat melihat kembali fitrahnya semula dan mengikuti JalanNya. Karena itu mengikuti al-Masih dengan percaya kepadaNya, berarti jalan kembali manusia kepada Allah melalui fitrahnya semula.
Bersambung ke: "Bab 9. Makna "Istiwa’ an Yamin al-Ab" (duduk di sebelah kanan Bapa) dalam Kanun Al-Iman"
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
"Bab 9. Makna "Istiwa’ an Yamin al-Ab" (duduk di sebelah kanan Bapa) dalam Kanun Al-Iman"
"….wa sha’ida ilas Sama’I waastawa’ an Yaminul Abi, wa aidlan siyatiy bi-Madji ‘adzim li yadinal ahya’a wal amwata, alladzi laisa-malkahu inqadha’.41)
(yang telah berangkat ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa, dan akan datang kembali dalam kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, serta kerajaanNya tidak berkesudahan).
Gereja kristiani perdana, seperti yang antara lain tercatat dalam Markus 12 : 35 -37 dan Kolose 3 : 1, juga mewarisi ungkapan Mesianis Ibrani: yosyev li-Yamin ha Elohim (Arab: Istawa’ an Yaminu l l-lah, "duduk disebelah kanan Allah Bapa".) Ungkapan yang berasal dari Zabur/Mazmur 110:1 ini, yang dalam tafsiran-tafsiran para rabbi Yahudi diterapkan pada Mesiah yang akan datang. Midrash Tehilim,42) sebuah komentar bahasa Arami atas kitab Zabur 110: 1, mencatat : ("Duduklah disebelah kananKu" disini, berbicara tentang Mesiah dan tahtaNya yang dipersiapkan bagiNya dalam anugerah, dan Ia akan duduk di atas tahta tersebut". Karena keyakinan Gereja perdana bahwa Yesus adalah Mesiah yang telah datang menggenapi nubuat Zabur di atas, maka kalimat "duduk di sebelah kanan Allah" itu pada Majma’ (konsili) Nikea tahun 325 dimasukkan dalam teks Kanun al Iman. Patut dicatat pula, ungkapan "sebelah kanan" itupun sama sekali tidak dapat dimaknai secara fisik, seolah-olah Allah berada di sebelah kiri 'Isa. Untuk itu kita harus mengerti latar belakang ungkapan Ibrani tersebut, dengan melihat bagaimana ungkapan itu pada waktu itu dimengerti, dan apa pula makna penerapannya bagi "Isa.
Mazmur 110:1 dimana ungkapan itu berasal, mula-mula berasal dari pelantikan Raja Israel zaman dahulu. Pada zaman dahulu, singgasana di istana Raja Salomo (Nabi Sulaiman) bersambung ke bagian selatan Ruang Mahakudus, tempat shekinah (kehadiran) Allah, pada bangunan Haekal Shlomo (Bait Allah bangunan Sulaiman) di Yerusalem. Orang-orang Yahudi yang berada di luar Tanah suci dalam shalat mereka berkiblat ke Baitul Maqdis ini (Daniel 6:11). Tetapi ketika mereka sedang berdoa di Baitul Maqdis, mereka berdoa dengan muka menghadap ke sebelah timur, lambang Firdaus (Kejadian 2 :8).43) Karena itulah, apabila mereka berdoa menghadap ke timur, singgasana Raja Salomo terletak di sebelah selatan, yaitu "berada di sebelah kanan Bait Allah". Sedangkan Allah selalu "hadir" dalam BaitNya yang kudus, maka secara simbolis lalu dikenal ungkapan "duduk di sebelah kanan Allah". Jadi, lebih dari raja-raja Israel kuno yang diurapi (Ibrani : "masyiah"), maka memenuhi pengarapan mesianik Yahudi, Yesuslah "satu-satunya yang diurapi (Ibrani: "ha-Mashiah"), yang menjalankan kedaulatan Allah". Karena itu bila kerajaan duniawi raja-raja Israel mengalami jatuh bangun, maka Kerajaan ilahi Mesiah itu tidak akan pernah berkebinasaan (Arab: alladzi laysa li-Malkahu inqadha’). Dengan kebangkitan Yesus dan mi’rajNya ke surga, ummat Kristiani perdana meyakini bahwa nubuat Mazmur 110: 1 tersebut, dalam maknanya yang peripurna hanya dapat diterapkan bagi Yesus.
Dengan kebangkitan Yesus secara jasmaniah itu, sebagai "yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati" (Kolose 1 :18), menjadi model kebangkitan kita: Ia menjadi buah sulung, sesudah itu mereka yang menjadi milikNya pada waktu kedatanganNya kembali (1 Korintus 15 :23). Jadi, berbeda dengan ajaran Gnostik, yang memandang keselamatan jiwa semata-mata, tanpa raga yang dianggapnya kotor dan tidak layak, maka tubuh kemuliaan ‘Isa al-Masih yang sekarang bertahta di surga, yang subyeknya sama dengan tubuh inkarnasi (Basyar at-Tajjasad) yang pernah dikenakanNya dahulu, menjadi model bagaimana nanti kita diselamatkan olehNya. Jadi, kendati tubuh tersebut bukanlah tubuh lain yang dahulu penah kita kenakan di dunia. Ungkapan Biblikal "di sebelah kanan" sebagai simbol manusia yang memperoleh keridlaan Allah, dikenal juga dalam eskatologi al-Qur’an (Surah al-Mudatsir/74:28): sebagai ashhabul Yamin (kaum golongan kanan, "yang diridlai Allah"), dan lawannya ashhabul yasar (kaum golongan kiri, "yang dimurkai Allah"). Kata "kanan" yang dikenal baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab : "Yamin", adalah kiasan yang menunjukkan kehormatan dan kemuliaan, bukan dalam makna fisik yang menunjukkan keterbatasan ruang atau tempat tertentu. (1 Raja-raja 2 : 19; Mazmur 45 : 10).
Bersambung ke: "Bab 10. Mempertahankan Kekadiman Ruhu l-Lah dalam Majma’ Konstantinopel (381) dan Sekilas perbedaan Barat-Timur."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
"Bab 10. Mempertahankan Kekadiman Ruhu l-Lah dalam Majma’ Konstantinopel (381) dan Sekilas perbedaan Barat-Timur."
Apabila Konsili Nikea tahun 325 dirangsang oleh ajaran Arius yang menyangkal kekadiman Kalimatullah, maka Konsili Konstantinopel tahun 381 dirangsang oleh ajaran Makedonianisme yang menyangkal kekadiman Roh Kudus/Hayatu’l-Lah. Kitab Taurat, Nabi-Nabi maupun Injil, menyaksikan bahwa roh Allah bersama FirmanNya adalah kekal dan ghair al Makhluq (Sefer Beresyit/Kejadian 1:2; Zabur 33 : 6; Injil Yahya 15:26). Sebab roh Allah memberi kehidupan pada saat penciptaan, yang diwujudkan dengan FirmanNya (Sefer Beresyit/Kejadian 1:2, we Ruah Elohim merakhefet al fene ha Mayim") Kitab Zabur juga mencatat, "be Davar YHWH syamayim na ‘asu, u-be ruah fiu kal tsebaam" (Dengan Firman Tuhan Langit telah diciptakan, dan dengan Ruh dari mulutNya segala semesta alam). Sebagaimana perlawanannya terhadap ajaran Arius, dalam melawan ajaran Makedonianisme ini tentang ke-mahluq-an RohNya (Hayatu ‘l-Lah), selain mengaji secara seksama ayat-ayat Alkitab, Gereja juga menggali karya-karya Bapa-bapa Rasuli (sub-Apostolic Fathers). Dalam suratnya kepada orang-orang Magnesia, Mar Ignatius menyebut bahwa Allah, FirmanNya dan RuhNya dalam kehormatan dan kemuliaan kekal. 44) Sedangkan Mar Poly-carpus dalam doanya menyebut Roh Kudus dalam doanya, bersama-sama dengan Allah dan Putra terkasihNya Yesus Kristus, Iman besar surgawi yang kekal. 45) Karena itu, akhirnya konsili Konstantinopel tahun 381 ijma’ menetapkan kakadiman Ruhu’l-Lah :
wa nu’minu bi -Ruhul Quddus, Rabbul muhyi, al kala lladzi minal Abi yunabtsiq, wa ma’ al Abi wal Ibni Yusjadu lahu wa yumjadu.46)
(Dan kami percaya kepada Ruh Kudus, Rabb yang memberikan hidup, yang keluar dari Bapa/Wujud Allah, dan yang bersama dengan Bapa/Wujud Allah dan Putra/Firman Allah disembah dan dimuliakan)
Rumusan bahwa Ruh Allah keluar dari Bapa/Wujud Allah dalam konsili Konstantinopel tersebut, berdasarkan bunyi Yahya 15:26. Tetapi dikemudian hari Gereja Latin (Roma) menambahkan sisipan melalui konsili lokal Gereja Barat di Toledo tahun 589, rumusan asli bahwa Ruh Kudus keluar dari Bapa, ditambahkan "dan putra" (filioque). Bunyi lengkapnya dalam bahasa Latin "qui ex Patre Filioque procedit" (yang keluar dari Bapa dan Putra). Sebenarnya motif di balik penyisipan ini, Gereja Barat hendak menegaskan kesatuan yang mendalam antara Roh Kudus dengan Al-Masih, sehingga karya keselamatan dalam Al-Masih tidak dapat dilepaskan dari Roh Kudus. Gereja-gereja Timur bisa mengerti alasan tersebut, asalkan relasi Roh Kudus dengan Al-Masih itu ditegaskan bukan dalam hal "keluar"-nya Roah Allah itu dari kekekalan, sehingga menimbulkan ta’adud al-Quddama (terbilangnya yang kekal) secara terpisah antara hypostasis-hypostasis dalam Allah. Sebab hanya ada satu Esensi Ilahi (the Divine Esence) yaitu Allah (yang disebut Bapa), yang didalannya berdiam secara kekal FirmanNya (Putra) dan RuhNya (Roh Kudus). Jadi, kendati FirmanNya dan RuhNya sama-sama kekal, tetap karena kesatuannya yang tidak terpisahkan dengan wujud Allah itu sendiri, maka hanya ada satu yang kekal. Dengan demikian, Gereja-gereja Timur megaskan bahwa Roh Allah itu (seperti juga FirmanNya) sama-sama keluar dari Allah, dan bukan Roh Allah keluar dari WujudNya (Bapa) dan FirmanNya (Putra), yang dalam pandangan gereja-gereja dianggap mencederai KeesaanNya. Untuk menegaskan kesatuan yang mendalam antara karya keselamatan Al-Masih dengan Roh Kudus, Gereja-gereja Timur bisa saja menerima rumusan: Ruh Allah itu keluar dari Allah sebagai satu-satunya esensi Ilahi, tetapi penerimaan Ruh Allah itu ke dunia melalui Putra , yaitu sosok nuzulNya Firman Allah sebagai manusia, dalam karyaNya sebagai Messiah. Dalam makna inilah Roh Allah itu juga disebut Roh Yesus ( Kisah Rasul-rasul 16:7; Filipi 1 :19), maksudnya bukan Roh yang keluar dari Yesus, melainkan Roh yang diutus Bapa demi nama MesiahNya: "tetapi penghibur, yaitu roh kudus, yang diutus oleh Bapa demi NamaKu" (Yahya 14:26). Dengan begitu Keesaan Allah dipertahankan , tetapi dengan ajaran Trinitas (Tsaluts Al-Muwahid) tersebut aspek pewahyuan dan kehidupan dalam esensi Ilahi yang satu diterangkan dan dijelaskan.
Bersambung ke: "Bab11. Latar Belakang Yudaisme mengenal Makna Ke-Tu(h)an-an (Lordship) Almasih."
Tauhid dalam Persepektif
Gereja Orthodox Syria
Oleh : Efraim Bar Nabba B. Noorsena
*) Disajikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan oleh YAYASAN PARAMADINA (Islam) dan STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA (Kristen), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22 Oktober 1998.
"Bab11. Latar Belakang Yudaisme mengenal Makna Ke-Tu(h)an-an (Lordship) Almasih."
"…Wa bi - Rabbu Wahidan, ‘Isa al Masih".47)
(Dan kepada satu-satunya Tu(h)an, yaitu ‘Isa al Masih)
Mazmur 110 : 1, mencatat : "Neum YHWH l’Adonay, Syev li-yaminiy" (Firman Yahweh/TUHAN kepada Adonay/Tu(h)anku, "Duduklah engkau disebelah KananKu"). Tafsir-tafsir Yahudi sebelum zaman Kristen sepakat, bahwa Mazmur ini berbicara tentang Mesiah yang akan datang. "Sabda ini", maksudnya gelar Adonay yang berarti Tu(h)an, demikian sumber Yahudi Midrash Tehilim, "menunjuk kepada karya Raja Messiah".48) Berdasarkan studi historis kritis, kita bisa menemukan bahwa bunyi pengakuan iman Kristiani tertua : "Yesus adalah Tu(h)an". Jemaah Kristiani sejak permulaan sangat menyukai mazmur 110 ini, dan menerapkannya bagi Yesus sebagai Mesiah yang ditunggu-tunggu. Kutipan Mazmur ini mula-mula dijumpai dalam Markus 12:35-37, yang mengkritik dan mengkoreksi pandangan Yahudi pada zaman itu. Jika Daud dianggap penulis Mazmur ini, dan ia menyapa Mesiah sebagai Adonay, "Tu(h)an-ku", maka Mesiah bukan sekedar Putra Daud, tetapi lebih dari itu? Karena itu, Kerajaan mesiah itu kekal, berbeda dengan jatuh bangunnya dinasti Daud. Dan dengan kebangkitanNya dari antara orang mati, maka jemaah Kristen perdana semakin menyadari bahwa Mazmur 110 secara tepat hanya dapat diterapkan bagi Yesus. Sumber pengakuan tertua lainnya, adalah seruan ibadah jemaah Kristiani paling kuno dalam bahasa Arami, Marana-tha "Tu(h)an kami, datanglah" (I Korintus 16 :22).49)
Jadi, pertama-tama ummat Kristen menegaskan bahwa Tidak ada Ilah selain Allah, dalam makna bahwa Allah sendirilah satu-satunya Ilah (God,"sembahan"). Serentak dengan itu pula, dipaham bahwa kedaulatan Allah sebagai Tu(h)an (Ibrani: Adonay; Aram: mara; Yunani: Kyrios), dilaksanakan oleh Messiah-Nya, seperti ditegaskan dalam pengharapan mesianik Yahudi. Karena itu ditegaskan pula, satu-satunya Kyrios, yaitu Yesus Kristus (I Korintus 8 :6). Bila dikalimatkan paralel dengan 1 Korintus 8 : 4, "Laa rabba illa ‘l-Masih (Tidak ada Tu(h)an selain al-Masih). Maksudnya, bukan dalam makna Tuhan selain Allah, melainkan seperti disebut dalam Filipi 2 : 11, Yesus Kristus adalah "Tu(h)an bagi kemuliaan Allah" (Ibrani : ha-Adon le Kevod Elohim). Menarik dalam bahasa Arami, Mara hu Yeshu’a Mashiha I’syubaha d’ Allaha. Ungkapan l’Subha d’Allaha (cf. Pujian dalam bahasa Arab, "Subhana Ilah", menunjukkan bahwa melalui Ketu(h)anan Messiah-Nya itulah, semua makhluk ber-tasybih memuji Allah. Dialah pelaksana Ketuhanan (kedaulatan, Kepenguasaan) Allah di langit dan di bumi. "Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi" (Matius 28 :20). Lebih jelas lagi, Allah telah menjadikan Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Adonay dan Mesiah " (Kisah Rasul 2 :36). Itulah makna gelar Ketu(h)anan Yesus (The Lordship of Christ), justru masalahnya terletak pada terjemahan yang sepadan dengan kata bermakna ganda Adonay, Mara, Kyrios (Lord, yang berarti baik: Tuan, maupun Tuhan ) tersebut, tidak ada dalam bahasa Indonesia. Lebih sulit lagi dalam terjemahan - terjemahan al-Qur’an di kalangan Islam, istilah Arab Ilah dan Rabb sama-sama diterjemahkan "Tuhan". Padahal tidak dibedakannya antara makna keIlahian Yesus (The Devine of Jesus Christ) dengan ke-Tu(h)an-anNya (The Lordship of Jesus Christ), menjadi sumber kesalahpahaman besar.
Keilahian Yesus menunjuk kepada kodrat IlahiNya sebagai Kalimatu ‘l-Lah, yang non-fisik (metafisik) dan ghaib, sebanding dengan penghayatan Islam mengenai Kalam Nafsi yang kadim dan berdiri pada Dzat Allah. Sedangkan Ketu(h)anNya menunjuk kepada kemanusiaanNya, yang karena ketaatan totalNya melaksanakan kehendak Allah, Yesus digelari Adonay, Mara, Kyrios tersebut (Filipi 2 :11). Karena itu, wujud nuzul kemanusian Yesus tersebut sebanding dengan penghayatan Islam mengenai Kalam Lafdzi: yaitu wujud temporal Kalam Allah yang nuzul dalam ruang, dan waktu sebagai Qur’anan ‘Arabiyyan (s. Thaha/20 :113, "al-Qur’an berbahasa Arab"). Sebagaimana bentuk fisik Kalam Allah sebagai Qur’anan 'Arabiyan terikat oleh keterbatasan keterbatasan tertentu, begitu pula dalam wujud inkarnasiNya Yesus bukan Allah dan Ia lebih rendah daripada Allah (Yohanes 14 :28), bahkan "untuk waktu yang singkat sedikit rendah dari Malaikat -malaikat" (Ibrani 2:7), menjadi Nabi (Matius 21 :11; Kisah Rasul-rasul 7:37), utusan Bapa atau Rasul ( Ibrani 3 :1). Karena tidak memadainya istilah Tuhan dalam bahasa Indonesia , menerjemahkan kata Adonay, Mara, atau Kyrios, maka sering disalahfahami bahwa orang Kristen menyamakan Yesus dalam wujud nuzulnya sebagai manusia dengan Allah, atau menjadikanNya Tuhan (Ilah) selain Allah. Dalam Alkitab terbitan LAI, dibedakan antara TUHAN (menerjemahkan YHWH) dengan Tuhan (menerjemahkan Adonay), atau dalam Alkitab bahsa Arab dibedakan antara Ar Rabb (dengan definite-article, AI) untuk menunjuk Allah, dengan Rabb untuk menunjuk Yesus. Konkritnya, Yesus tidak pernah disamakan dengan TUHAN (Ar Rabb) yang menunjuk YHWH melainkan Tuhan(Rabb) yang sejajar dengan Adonay, Mara dan Kyrios , meneruskan pengharapan mesianis Yahudi yang menerapkan gelar itu bagi Mesiah yang akan datang. Makna Ke-Tu(h)an-an Yesus ini, dalam penghayatan Kristiani dibedakan dengan KeilahianNya sebagai Kalimatu-‘l-lah yang satu dalam Allah dalam kekadiman (Yohanes 1 :1-3). Sesungguhnya Almasih melaui kodrat gandaNya, serentak mengalami kematian dan kebangkitan, sebagaimana ditekankan oleh mar Kyrilos dari Alexandria dalam Al Iman al Haqq fi Nasut Rabbina,50) bahwa Almasih itu satu yang berasal dua, menjadi sedemikian rupa dari dua, dimana kesatuan itu tidak menjadi rusak oleh kedua tabiatNya, tidak berbaur antara satu tabiat dengan tabiat lainnya, melainkan kesatuan mulia dalam keunikan (Al Masih al Wahid huwa min shi’ain, qad ijtima’ila Wahid ma-ullaf min kullihuma laa bi-hadim ath thabi’atain wa laa bi-khatalathahuma, bal bi-ittahada syarifan fi al-ghayat). Pembedaan makan keTu(h)anan yang disandangkan pada kemanusiaan Almasih dengan Keilahian yang dikaitkan dengan Kalimatu ‘l-Lah yang kadim dan satu dengan Allah ini, sangat penting dalam bangunan dasar teologi Kristiani ini, yang perlu ditekankan dalam dialog teologis Kristen-Islam, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut.
-=SEKIAN=-
Catatan kaki akan dikirimkan atas permintaan.