Mengakui Kesalahan
"Saya melakukan sebuah kesalahan dengan melakukan hubungan tak sepantasnya
dengan Lewinsky. Dalam kenyataannya, itu adalah sebuah kesalahan. Saya telah
menyesatkan banyak orang, termasuk istri saya sendiri. Saya sangat
menyesal."
-- Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat
SENGAJA atau tidak, kesalahan telah dilakukannya. Tak ada jalan lain, dia
harus mengambil keputusan. Akhir Mei lalu, Menteri Luar Negeri Kanada,
Maxime Bernier memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bernier,
entah sengaja atau teledor, telah meninggalkan dokumen rahasia di rumah
bekas kekasihnya. Terlalu sulit untuk mencari tahu bagaimana sebuah dokumen
rahasia bisa jalan-jalan sampai ke rumah bekas pacarnya. Lagi pula, itu
tidaklah penting. Entah apa motifnya, itu juga gelap. Yang jelas, sang bos,
Perdana Menteri Kanada Stephen Harper marah besar dengan kesalahan yang
dilakukan anak buahnya itu. "Itu kesalahan amat serius yang dilakukan
seorang menteri. Kami harus selalu menerima tanggung jawab atas dokumen
rahasia. Menteri langsung mengakui betapa beratnya kesalahan ini."
Di dalam media cetak dan elektronik di sana, berita tentang pengunduran diri
Bernier menjadi isu utama. Bernier pun mengakui kesalahan fatal yang
dilakukannya. Namun tentu tak semudah itu keputusan tersebut diambil.
Keteledoran, apa pun sebabnya, tentu akan membuat banyak perkara dalam hidup
seseorang. Dengan keputusan itu, Bernier telah mengambil segala risiko: malu
pada keluarga, diledek lawan politik, dan tentu saja karir politiknya, yang
sudah jelas dibangun dalam jangka waktu yang tidak sebentar, ambruk
seketika.
Harus diakui, mengakui kesalahan bukanlah perkara yang mudah. Coba sekarang
benamkan diri kita masing-masing pada peristiwa yang telah berlalu. Semisal
ketika seorang teman yang kena damprat orang tuanya gara-gara kelakuan kita.
Di masa muda, tentu kita pernah pergi ke pesta ulang tahun kawan. Saat kita
yang sedang berpesta, tentu tak ingin kawan-kawan pulang lebih dulu.
Akhirnya, kita tahan mereka. Namun, di luar pengetahuan kita, keesokan
harinya, kita tahu seseorang dari mereka kena damprat papa dan mamanya
karena pulang larut malam. Nah, apakah kita mau mendatangi rumah orang
tuanya, lalu menjelaskan semuanya dan mengakui semua kesalahan itu berawal
dari keinginan kita karena menahannya pulang. Banyak dampaknya dari
pengakuan kita itu. Boleh jadi, kita malah kena damprat pula atau dianggap
sebagai biang keladinya.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun sebuah kesalahan bisa terjadi. Seorang kawan
mengakui bahwa ia lupa untuk mengirimkan proposal pengajuan penawaran balik
ke perusahaan rekanan. Karena waktunya terlambat dari dateline yang telah
ditentukan, proposal penawaran yang dikirim secara menyusul pun menjadi
tidak berarti. Alhasil, proposal pun ditolak. Sang rekan pun dipanggil oleh
atasan menanyakan mengapa keterlambatan bisa terjadi. Dengan menyesal sang
rekan mengatakan bahwa ia benar-benar lupa untuk melakukan hal itu karena
terfokus oleh pekerjaan lain. Apapun alasannya, kesalahan tetaplah sebuah
kesalahan. Dengan penuh tanggung jawab, sang rekan pun mengakui kesalahannya
dan siap menerima konsekuensi dari perusahaannya.
Apa yang dilakukan sang rekan tersebut sudah benar, bahwa ia tidak lari dari
tanggung jawab. Pada saat itulah, sebenarnya kita ditantang untuk mengakui
kesalahan, dengan taruhannya: diberi kesempatan sekali lagi untuk tetap
bekerja di kantor itu, atau surat pemutusan hubungan kerja yang akan
diberikan pihak manajemen.
Sebuah pilihan yang sulit tentu saja. Namun, marilah kita jujur pada nurani
kita sendiri. Saat sekali dalam hidup, kita mengakui kesalahan yang kita
lakukan, di lain waktu kita akan terjaga untuk tidak mengulanginya. Tentunya
karena kita paham, akibat dari kesalahan yang kita lakukan dapat berakibat
buruk pada orang lain. Namun, bila kita terbiasa untuk enggan mengakui
kesalahan, sudah barang tentu, kesalahan-kesalahan akan kerap terus
dilakukan, sambil otak terus berpikir untuk mencari kambing hitam yang bisa
menjadi sasaran kesalahan.
Pada akhirnya, pilihan yang kita ambil, menunjukkan jati diri dan kualitas
kita yang sebenarnya. (070708)
Sumber: Mengakui Kesalahan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta