SHOLAT SEBAGAI MI’RAJNYA ORANG BERIMAN UNTUK MENEMUI ALLAH
Catatan Kuswanto Abu Irsyad
Dalam agama Islam, kita mengenal konsep Trilogi Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga kosep tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Shalat merupakan bagian dari rukun Islam yang sangat penting untuk dikaji dan dilaksanakan oleh umat Islam. Kata “shalat” merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang artinya hubungan. Ketika kita melakukan shalat, maka kita sebenarnya sedang melakukan hubungan langsung dengan Allah. Ketika seorang mengawali ibadah shalat dengan “Takbiratul Ihram” (Takbir Larangan), ruhani bergerak menemui Allah, terlepas dari belengu hawa nafsu karena panca indra menutup diri dari segala macam peristiwa di sekitarnya.
Dalam shalat, seorang pelaku shalat harus memusatkan seluruh perhatian diri kepada Wujud Allah yang merupakan obyek perhatian ruhani untuk kembali dan berserah diri. Kemudian setelah kita telah bertawajuh kepada Allah maka barulah kita dapat berserah diri secara kafah. Kalau kita sudah mencapai kesadaran seperti ini, maka para pelaku shalat tersebut dapat diberi gelar sebagai manusia yang murni (mukhlisin). Dan pada keadaan ini sifat setan dan hawa nafsu tidak mampu menembus alam keikhlasan orang mukmin.
Pada saat kita melakukan gerakan takbiratul ihram (takbir larangan) dalam shalat, maka otomatis seluruh syaraf indra tidak menghantarkan impuls getaran dari panca indra, sebab tujuh pintu hawa nafsu yang ada di kepala tidak difungsikan sehingga ruhani perlahan bergerak meninggalkan keterikatannya dengan badan (syahwat). Neuron-neuron akal berhenti bergerak hingga menjadi Nurun ‘ala Nurin, lalu melesat kembali ke pangkalnya, yaitu Cahaya Allah dan Cahaya Terpuji. Pada saat inilah ruhani berserah diri dan lepas bebas dari pengaruh alam-alam, suara-suara ghaib, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang yang menyekutukan-Nya.” (QS Al An’am 6 : 79)
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita shalat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita dengan Wajah Allah Yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini yang terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak mungkin melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan ingkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain)………” (QS Al-Ankabut 29 : 45)
Allah memberikan gelar kepada orang yang shalatnya tidak sesuai dengan sumpahnya sebagai shalatnya orang munafik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah kecuali hanya sedikit sekali.” (QS An Nisa’ 4 : 142)
Ketika melakukan shalat, kita sering mengalami rasa jenuh dan tidak khusyu’, padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita dengan wajah Allah. Hal ini terjadi dikarenakan kita tidak mengetahui bagaimana cara melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, bahwa “shalat itu adalah mi’raj-nya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Mungkin bagi kita yang awam agak canggung dengan istilah mi’raj, yang hanya kita kenal sebagai peristiwa luar biasa hebat yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw dan menghasilkan perintah sebuah shalat. Mengapa Rasullullah mengatakan bahwa shalat merupakan mi’raj-nya orang mu’min? Adakah kaitannya dengan mi’rajnya Rasulullah Saw, karena perintah shalat adalah hasil perjalanan beliau ketika berjumpa dengan Allah di Shidratul Muntaha? Mungkinkah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah Saw melalui shalat? Apakah kita bisa bertemu dengan Allah ketika shalat? Begitu mudahkah bertemu dengan Allah? Atau jika jawabannya tidak, mengapa kita diperintahkan untuk shalat? Adakah rahasia dibalik shalat?.
Misteri ini hampir tak terpecahkan, karena kebanyakan orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori, dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya, kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat shalat atau bahkan hanya menganggap shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Dilain pihak ada peshalat yang telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai khusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa kita sadari sudah keluar dari “kesadaran shalat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang shalat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu sendiri, yaitu bergerser niatnya bukan lagi karena Allah.
“…..Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya.” (QS Al-Ma’un 107 : 4-6)
Pada ayat kelima firman Allah tersebut, didahului oleh kalimat Alladzina (isim mausul) sebagai kata sambung untuk menerangkan kalimat sebelumnya yaitu saahun (orang yang lalai). Celakalah baginya karena dasar perbuatan shalatnya telah bergeser dari “karena Allah” menjadi karena ingin dipuji oleh orang lain (riya)”. Atau, bagi orang yang dalam shalatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Shalat yang demikian adalah shalat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki shalat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“…maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku…”. (QS Thaha 20 : 14)
“……. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’raaf 7 : 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah shalat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang ia lakukan. Shalat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan selama ini, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan ingkar.
“…Janganlah engkau mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)….”. (QS An Nisa 4 : 43)
Kalimat laa taqrabu (janganlah kamu mendekati) mempunyai kandungan maksud bahwa kita dilarang mendekati shalat. Sebagian ulama menggap haram hukumnya jika orang mendekati shalat dalam keadaan tidak sadar. Hal ini dikaitkan dengan kalimat larangan yang juga menggunakan kata laa taqrabu seperti dalam firman Allah, “laa taqraba hadzihisy syajarah, “jangalah engkau dekati pohon ini.” (QS Al Baqarah 2 : 35) dan “laa taqrabul fawaahisya…., “Janganlah engkau dekati perbuatan-perbuatan keji.” (QS Al An’am 6 : 151) serta “Laa taqrabuz zina, “Janganlah engkau mendekati zina.” (QS Al Isra’ 17 : 32 ), Walaa taqrabuu maalal yatiimi, dan janganlah kamu dekati harta anak yatim… (An An’am 6 ayat : 152).
Nahyi (larangan) juga ditujukan kepada para mushalilin agar tidak melakukan shalat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Bentuk nahyi (larangan) pada ayat-ayat di atas seperti kata laa taqrabuush shalata (jangan engkau mendekati shalat) dan laa taqrabaa hadzihisy syajarata (jangan kalian mendekati pohon ini) mempunyai sifat yang sama, yaitu larangan untuk mendekati sesuatu (benda) atau perbuatan. Dan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apa lagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yang sangat buruk, yaitu, “maka celakalah orang yang shalat”.
Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu’ dalam shalatnya.
“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al Mukminun 23 : 1-2)
Sungguh amat jelas dalam nash tersebut, bahwa khusyu’ merupakan suatu hal yang sangat penting, dan Allah merespons orang-orang mukmin yang khusyu’ di dalam peribadatannya.
“Katakanlah : “Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka pun menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata “Maha Suci Tuhan kami, sungguh janji Tuhan kami pasti dipenuh”’, Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis, dan mereka bertambah khusyu” (QS Al Isra’ 17 : 107 – 109)
“Ilmu” yang dimaksud ayat di atas adalah ilmu khusyu. Jika ilmu tersebut ada dalam qalbu manusia maka akan bergetar qalbunya, tersungkur atas muka mereka seraya menangis dan mereka bertambah khusyu’, jika ayat-ayat Allah dibacakan. Ayat di atas sekaligus merupakan petunjuk atas tanda iman yang keluar dari qalbu orang-orang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila mengingat Allah gemetarlah qalbu mereka…”. (QS Al Anfaal 8 : 2)
Pengertian khusyu’ ialah lunak dan tawadhu’ qalbunya, merasakan ketenangan, kerinduan, keintiman dan kecintaannya kepada Allah.
Selanjutnya apa yang menjadi penyebab hilangnya ilmu khusyu’ pada zaman kini, Al Quran mengisahkan sebuah zaman yang hampir sama kejadiannya seperti zaman kita, yaitu :
“Dan ceritakan (kisah) Idris di dalam Al-Quran, sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka maka mereka menyungkur dengan sujud dan menangis. “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS Maryam 19 : 56-59)
Begitulah Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan shalatnya. Dalam Al Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang ingin mendapatkan kekhusyu’an.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2 : 45-46)
Pada ayat pertama tersebut, Allah memberikan penjelasan terhadap kita, bahwa shalat itu memang sangat sulit dan berat, kecuali bagi orang yang khusyu’. Pada ayat berikutnya terdapat kata alladzina yazhunnuuna annahum mulaaquu rabbihim wa annahum ilaihi raajiun, untuk menjelaskan bahwa orang yang khusyu’ adalah yang mempunyai kesadaran rohani (zhan) bahwa dirinya sedang bertemu dengan Tuhannya dan dengan kesadarannya itulah mereka kembali kepada-Nya (berserah diri).
Jika tidak memahami kesadaran bahwa hanya kepada-Nya roh itu kembali, maka perjalanan rohani kita berhenti atau terlena ke dalam ilusi pikiran. Akibatnya pengalaman liqa’ Allah itu tidak ada, padahal pertemuan dengan Allah yang disebutkan di atas terjadi pada waktu sekarang atau sedang berlangsung.
Ada sebagian menterjemahkan bahwa “bertemu Allah” hanya di akhirat kelak. Pendapat ini tidak sesuai dengan kata yang tercantum dalam ayat tersebut. Sebab pada kalimat alladzina yazhununa annahum mulaaquu rabbihim wa annahum ilaihi raajiunn- adalah orang yang (sedang) meyakini atau menyadari bertemu dengan Tuhannya dan kepada-Nya mereka kembali. Kata raaji-unn berasal dari kata raja’a (telah kembali, fi’il madhi), sedang yarji’u (sedang kembali, fiil mudhori’) dan raaji’ (orang yang kembali, isim fail). Raajiuun adalah bentuk jama’ dari kata raaji (orang yang kembali).
Penggunaan isim fail (pelaku atau subjek) pada ayat tersebut menegaskan, bahwa subjek itu melakukan sesuatu pada saat sekarang atau sedang berlangsung, karena didahului kata yadzhunna (adalah bentuk fiil mudhori’), di dalam kitab Al qawaaidul ‘Arabiya, Al muyassarah jilid halam 79, wa huwa fi’lulu alladzi yadullu ‘ala hadatsin fi zamanin haadhir aumutaqbalin, menerangkan waktu zaman (jamanin) hadir au istiqbal yaitu peristiwa yang dilakukan saat sekarang dan akan datang atau kejadian itu sedang berlangsung. Maka bagi orang yang mengartikan bahwa kembali atau bertemu dengan Allah yang dimaksud adalah nanti di akhirat saja, sangatlah tidak masuk akal karena jika pendapatnya demikian akan muncul pertanyaan : jadi selama ini ketika kita shalat menghadap kepada siapa? Di manakah Allah saat kita sedang menyembah-Nya? Bagaimana dengan pernyataan Allah dalam surat Thaha 20 ayat 14 :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat aku.
Begitu jelas bahwa objek (persembahan) ketika shalat adalah Aku, bukan nama-Ku akan tetapi kepada Wujud-Ku.
Sayyid Qutub memberikan penegasan bahwa penggunaan kata “dzan” pada kalimat alladzina yadzunnuuna annhum mulaquu rabbihim dan akar katanya, bukan bermakna “sangkaan” tetapi diartikan keyakinan berjumpa dengan Allah. Arti ini dianggap yang lebih tepat, karena banyak keterangan serupa terdapat di dalam Al Quran maupun dalam kaidah bahasa Arab pada umumnya (Abu Sangkan, 2003).
Salah satu bentuk khusyu’ yang dapat dilihat secara syariat adalah shalat yang tak menengok ke kanan dan ke kiri. Hal itu disebutkan dalam beberapa ayat dan Hadits di bawah ini :
“Maka sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin ( mati ) “. (QS Al Hijr 1: 99)
“Ingatlah kematian di dalam sholatmu. Karena sesungguhnya seseorang jika mengingat kematian di dalam sholatnya, niscaya dia akan bermaksud untuk memperbaiki sholatnya. Dan lakukanlah sholat sebagaimana sholat seseorang yang tidak pernah mengira bahwa dia akan dapat melakukan selain sholat yang dilakukannya itu “. (HR Ath Thabrani)
“Jika engkau telah berdiri di dalam sholatmu, maka lakukanlah sholat sebagaimana sholat seorang yang akan meninggalkan dunia “. (HR Ahmad)
“Dari Abu Hurairah : “Rasulullah Saw pernah menoleh ke kanan dan ke kiri dalam shalat, lalu Allah menurunkan firman-Nya : Sungguh beruntung mereka yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Kemudian Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, shalat dengan khusyu’ dan tidak menoleh ke kanan atau ke kiri”. (HR An Nasai)
“Allah itu tanpa henti memperhatikan shalatnya hamba, selama hamba itu tidak menoleh. Jika hamba itu menoleh, maka Allah mengalihkan pandangan-Nya dari hamba itu.” (Al Hadits)
Rasulullah Saw ketika melakukan shalat selalu dengan tuma’ninah, yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga beliau dapat menyempurnakan ruku’, I’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud dalam shalatnya.
“Apabila kalian melaksanakan shalat maka janganlah terburu-buru dan datangilah shalat tersebut dengan tenang dan penuh hormat.” (HR Bukhari)
Tentang lamanya waktu tuma’ninah kadang Rasulullah Saw melaksanakannya cukup lama.
“Sesungguhnya Anas pernah berkata : Sungguh aku tidak kuasa shalat dengan kamu sebagaimana aku pernah melihat Rasulullah Saw, shalat dengan kami, yaitu apabila mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau bediri tegak sehingga orang-orang menduga bahwa beliau lupa, dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau diam sehingga orang-orang menduga bahwa beliau lupa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Aku shalat bersama Rasulullah pada suatu malam : Rasulullah senantiasa berdiri lama sehingga ada perasaan yang tidak baik dalam hatiku. Lalu ditanya oleh beliau. Niat tidak baik apakah yang kamu rasakan? Ketika engkau berdiri lama aku ingin cepat duduk, dan ingin meninggalkan shalat bersamamu”. (HR Bukhari dan Muslim)
Cara untuk memasuki shalat yang khusyu’ dapat di lakukan dengan langkah-langkah berikut ini :
1. Heningkan pikiran dan usahakan tubuh anda rileks. Tak perlu mengkonsentrasikan pikiran karena anda akan merasakan pusing dan lelah.
2. Kemudian rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungan rasa itu kepada Allah (biasanya kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang terasa getarannya menyelimuti jiwa dan fisik. Getaran jiwa inilah yang kemudian memendar menjadi Nur yang menyambungkan kepada Allah (Nur Shalah), yang menyebabkan pikiran tidak liar).
3. Bangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Allah. Sadari bahwa anda akan memuja dan bersembah sujud kepada-Nya serendah-rendahnya, menyerahkan segala apa yang ada pada diri anda.
4. Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan kuat yang menarik rohani kita meluncur ke Cahaya-Nya, pada saat itulah ucapkan takbir Allahu Akbar, sembari mengangkat tangan untuk mempertemukan jari-jari tangan dengan pasangannya, yaitu tujuh lubang inderawi dikepala. Sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad Saw : “Ketika kami berada di sisi Rasulullah, tiba-tiba beliau bertanya : “Adakah orang asing dianatara kamu, kemudian beliau memerintahkan pintu dututup dan bersabda : Angkatlah tangan kamu” (HR Al Hakim). Saksikan dan nikmati Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang terlihat oleh mata Qalbu. Kemudian luruskan niat, sesungguhnya aku menghadap wajah ku kepada Wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi, dengan selurus-lurusnya, dan aku bukan termasuk orang yang syirik. Rasakan kelurusan jiwa anda yang terus bergetar menuju Nur Allah dan Nur Muhammad, dan setelah itu menyerahlah secara total dalam “Lautan Cahaya-Nya”. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah semata.
5. Rasakanlah kehadiran Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang masih menyelimuti jiwa anda, dan mulailah perlahan-lahan membaca setiap ayat dengan tartil, pastikan anda masih tetap melihat Nur Ilahi dan Nur Muhammad saat membaca ayat-ayat-Nya.
6. Kemudian lakukanlah rukuk, biarkan badan anda membungkuk. Pastikan bahwa roh anda tetap melihat Nur Ilahi dan Nur Muhammad Yang Maha Agung, kemudian secara perlahan-lahan bacalah dengan penuh perasaan hormat subhaana rabbiyal adiimi wabihamdihi. Jika hal ini terjadi seirama antara rohani dengan fisik anda, maka Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang tersaksikan akan bertambah Cemerlang dan meliputi diri kita sehingga bertambah kuat pula kekhusyu’an shalat kita.
7. Setelah rukuk, anda berdiri kembali perlahan sambil terus menyaksikan Nur Allah dan Nur Muhammad sambil mengucapkan pujian kepada-Nya Yang Maha Mendengar, samiallahu liman hamidah, kemudian setelah kedua tangan diturunkan ucapan : Rabbana lakal hamdu millussamawati wamil ul ardhi wamil uma syita min syai in ba’du (Ya Allah, kami bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan bumi, sepenuh barang yang Engkau kehendaki). Rasakan keadaan ini sampai rohani anda mengatakannya dengan sebenarnya, dan jangan sedikitpun rasa tersisa dalam diri untuk ingin dipuji.
8. Kemudian secara perlahan dengan tetap melihat Nur Allah dan Nur Muhammad, bersujudlah serendah-rendahnya. Biarkan tubuh Anda bersujud, rasakan sujud anda agak lama. Jangan mengucapkan pujian kepada Allah yang Maha Suci, subhana rabbiyal a’la wabihamdih, sebelum roh dan fisik anda bersatu dalam Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad ketika sujud. Biasanya terasa sekali bersatunya rohani dengan Nur Allah dan Nur Muhammad ketika memuji Allah dan akan berpengaruh kepada fisik, menjadi lebih tunduk dan ringan.
9. Selanjutnya lakukanlah shalat seperti di atas dengan perlahan-lahan dan tuma’ninah di setiap gerakan. Jika anda melakukannya dengan benar, maka getaran Nur Ilahi dan Nur Muhammad akan bergerak menuntun fisik anda. Sempurnakan kesadaran “Nur shalah” anda sampai salam.
Anda akan merasakan getaran “Nur shalah” (Cahaya Penghubung) kapan saja, sehingga suasananya menjadi sangat indah dan damai. Dan ketika tiba waktu shalat, “Nur Shalah” itu akan bertambah besar dan merupakan tempat persinggahan jiwa untuk mengisi getaran “Nur Iman” yang diperoleh dari shalat dengan khusyu’. Agar getaran “Nur Iman” itu tidak tertutup lagi ingatlah Wujud Allah yang telah tersaksikan dalam shalat, dalam setiap kesempatan.
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasakan tenang, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An Nisa’ 4 :103)
Ditulis dalam 02. Tasawuf, 05. Hakikat | Tag: 02. Tasawuf, hakekat